KisahMuallaf.com – Molly Carlson tak menduga sebuah buku fiksi yang dibacanya di masa kecil akan membuatnya mengenal Islam.Selanjutnya, perkenalan itu secara tidak sadar membekas di hati,
membuatnya diam-diam meyakini bahwa Islam sebagai agama yang paling
benar.
Bahwa, semua doa, pelayanan, dan salib yang disilangkan dengan jari
di dadanya, hanyalah sebuah ritual yang selama ini tak menyentuh
hatinya.
“Saya tidak ingat berapa umur saya ketika membaca buku itu, tapi saya
ingat betul satu adegan di buku itu yang membuat saya mengenal Islam dan
mempertanyakan identitas saya sebagai Katolik,”
ujar perempuan yang berasal dari Minnesota, Amerika Serikat, itu.
Novel yang dibacanya adalah “King of the Wind” karangan Marguerite Henry. Novel ini berisi tentang kisah seorang anak laki-laki yang berasal dari Maroko dan kudanya.
Adegan yang dikenang Molly dalam buku itu adalah ketika si anak dikisahkan berpuasa saat Ramadhan. “Entah mengapa setelah membaca kisah tersebut, hati saya tiba-tiba tergerak,” ungkapnya.
Sejak itu, benih ketertarikan pada Islam mulai bersemi di dalam hati.
Rasa penasaran menuntunnya untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tentang Islam dan agamanya saat itu.
Lalu, beberapa mimpi menuntunnya untuk mengenal Islam lebih dalam. “Pada
umur 12 tahun, saya mendapatkan mimpi misterius yang tidak benar-benar
saya mengerti. Tidak menakutkan, tapi mimpi itu seperti merefleksi hati
saya ketika itu,” kenang Molly.
Dalam mimpi itu, Molly berdiri di sebuah ruangan kotak yang
dindingnya terbuat dari kayu dan memiliki karpet berpola di lantainya.
Ruangan tersebut diterangi oleh lentera.
Molly berdiri di tengah ruangan tersebut. Di sebelah kirinya terdapat
sebuah pintu kayu berukir untuk masuk ke ruangan lainnya. Meskipun
terpisah pintu, dalam mimpi, Molly melihat banyak perempuan di dalam
ruangan tersebut. Mereka semua menggunakan kain penutup kepala.
Sementara, ruangan tempat dia berdiri saat itu adalah ruangan yang
dipenuhi laki-laki.
Dalam mimpi itu, Molly sadar bahwa apa yang dilakukannya salah.
Seyogianya dia tidak berada di ruangan tersebut. Seharusnya dia bergabung dengan para perempuan di ruangan sebelahnya.
Dalam mimpi itu pula dia menyadari keberadaan sebuah kekuatan besar yang kemudian dipahaminya sebagai sosok Tuhan.
Molly merasa, Tuhan kecewa kepadanya karena berada di ruangan
tersebut. Entah mengapa, mengetahui hal tersebut, Molly merasa sangat
sedih. Mimpi tersebut membuat Molly kecil semakin bertanya-tanya.
Di lain waktu, mimpi lain menyerbunya. Saat itu, Molly telah cukup
dewasa untuk membuat keputusan atas dirinya. Dalam mimpi tersebut, Molly
melihat seorang perempuan berdiri di sebelahnya.
Perempuan itu lagi-lagi menggunakan kain hitam yang menutupi tubuhnya
dari kepala hingga ujung kaki, seperti seorang ninja. Molly hanya bisa
melihat mata perempuan itu.
Dia pun merasa takut melihat sosok tersebut. Namun, dia memberanikan
diri untuk mendekat kepada perempuan tersebut. Molly melihat mata
perempuan tersebut lebih saksama. Dia terkejut ketika mengetahui bahwa
perempuan yang berada di depannya itu adalah dirinya sendiri.
“Saya bisa tahu dari mata itu. Itu mata saya. Kami seperti
cermin. Sejenak saya berpikir bahwa mimpi tersebut adalah masa depan
saya kelak,” ujarnya.
Kejadian demi kejadian tak lantas membuatnya menyeberang batas
keyakinan untuk menjadi orang Islam. Eksplorasinya tentang Islam yang
lebih mendalam baru dilakukan setelah peristiwa 9/11 lebih satu dekade
silam.
Saat itu, Molly sedang menempuh semester pertama kuliahnya. Usianya
menginjak 18 tahun. Ketika peristiwa runtuhnya menara WTC di New York terjadi, Molly memiliki sejumlah teman dekat yang beragama Islam.
Namun, selama ini pertemanan mereka tidak banyak menyinggung soal agama. “Kami
tidak membahas agama setiap kali bertemu. Mereka tidak pernah
mempertanyakan keyakinan saya dan tidak pernah memaksakan keyakinan
mereka kepada saya,” katanya.
Peristiwa 9/11 yang diwarnai aroma terorisme gerakan jihad telah menyebarkan kebencian publik Amerika terhadap Muslim.
Namun, tidak demikian dengan Molly. Penilaiannya tentang
teman-temannya yang Muslim tidak berubah. Mereka tetap menjadi sahabat
baik bagi Molly. Tak ada kebencian.
Justru, yang muncul adalah simpati, bukan pada korban yang meninggal
karena peristiwa tersebut, melainkan pada teman-teman Muslim yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan tragedi itu. Tetapi, dihakimi
masyarakat hanya karena mereka Muslim.
“Saya tidak tega melihat teman saya diperlakukan tidak baik
pascakejadian tersebut. Saya sudah mengenal mereka sejak lama. Mereka
orang yang sangat baik. Bukan teroris ataupun ekstremis,” ujarnya.
Suatu kali, Molly pernah meminjam hijab, abaya, dan niqab milik
seorang temannya dan datang ke kampus dengan penampilan tersebut. Hal
tersebut dilakukannya hanya untuk mencari tahu bagaimana rasanya menjadi
Muslim.
“Kenyataannya, saya benar-benar diperlakukan secara berbeda. Perlakuan yang keras bagaikan membuat saya menangis.”
Perlakuan tersebut tak menyurutkan keputusannya untuk memeluk Islam
di kemudian hari. Pada 2005, ketika usianya 22 tahun, di ruang tamu
sebuah keluarga Muslim kenalannya, Molly membaca syahadat.
“Saya masih ingat betul perasaan saya saat itu. Saya merasakan tangan
Tuhan merangkul saya dan mencabut dosa saya, serta membuat saya menjadi
orang yang baru,”
tuturnya.
Sejak saat itu, Molly tidak pernah melihat lagi ke belakang.
“Saya tidak pernah menyesali keputusan saya. Saya menemukan lebih banyak
arti dan kesenangan dalam hidup saya setelah menjadi Muslim.”
Ramadhan Pertama dan Sebuah Pengakuan
Tujuh bulan berselang setelah Molly membaca syahadat. Peristiwa pengubah
hidupnya itu tak pernah diceritakan kepada keluarganya, terutama kepada
sang ibu yang saat itu tinggal bersamanya.
Alhasil, Ramadhan pertamanya adalah bulan yang tak terlupakan
baginya. Ia harus sembunyi-sembunyi berpuasa karena khawatir ketahuan
sang ibu.
Hal yang paling berat bagi Molly adalah saat sahur. Karena, ia harus
mencari alasan yang rasional untuk ibunya, mengapa ia harus bangun pukul
empat dini hari untuk memasak dan makan.
Dia masih berpikir untuk tidak memberi tahu sang ibu soal agama
barunya. Akhirnya, Molly mencari cara lain. Setiap hari dia akan
menyimpan persediaan makanan di bawah tempat tidurnya. Saat sahur, dia
akan memakannya.
Beberapa kali sang ibu memergokinya sedang makan sahur. “Saya berusaha meyakinkannya dengan mengatakan bahwa saya agak susah tidur malam itu,” kata Molly.
Sang ibu juga pernah curiga ketika memergokinya tidak makan pagi ataupun siang. “Pernah dua kali saya terpaksa membatalkan puasa karena keluarga kami mengadakan perayaan dan saya tidak bisa menghindar,” kenangnya.
Namun, pada 10 hari terakhir Ramadhan, Molly sadar, dia tidak bisa
lagi menutupi keislamannya. Saat itu, sang ibu harus menjalani operasi
dan Molly sangat takut sesuatu yang buruk menimpanya. Sang ibu tidak
pernah tahu bahwa putrinya telah berpindah agama. Dalam perjalanan ke
rumah sakit, Molly memutuskan untuk menceritakan hal tersebut pada ibu.
Di luar dugaan, sebelum Molly sempat mengatakan apa pun, ibunya tiba-tiba berkata, “Tak perlu menceritakannya padaku, kamu seorang Muslim, bukan?”
Perkataan ibu menyentaknya. Lalu, di luar dugaan, sang ibu ternyata bisa
menerima keputusan Molly meskipun dengan jujur dia mengaku tidak
terlalu menyukai hal itu. Namun, sang ibu tetap menghormati pilihan
Molly dan akan terus mencintai Molly sebagai putrinya.
Bahkan, pada hari raya Idul Fitri, sang ibu menyampaikan ucapan selamat kepadanya. “Mulai hari itu, ibu menjadi segalanya buat saya,” tutur Molly.
Sejak itu, hambatan utama Molly bukan lagi pengenalan agama barunya,
melainkan kebiasaan berpakaian. Ternyata, membaurkan Islam dengan budaya
Amerika tak sesulit perkiraannya. Akhirnya, dia pun berani memakai
hijab.