“(Masa remaja) Itu masa penentuan citra diri, saya ingin jadi seperti apa. Masa remaja adalah masa yang penuh tekanan, ingin tonjolkan citra diri, menarik perhatian yang bisa diwujudkan dalam kenakalan, misalnya tawuran,” tutur dr. Tun Kurniasih Bastaman SpKJ(K), Kepala Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam temu media di Jakarta, hari ini.
Di Australia, kata Tun, ada gerakan yg menyoroti secara lebih teliti pada perilaku remaja. “Diduga perilaku negatif remaja, misalnya suka tawuran, bukan semata pergolakan, tapi bisa jadi tanda awal gangguan jiwa. Dengan deteksi dini bisa dilakukan tindakan preventif biar tidak menjadi perilaku yang merusak,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama Tun mengungkapkan bahwa orang dengan gangguan kesehatan jiwa bisa ‘sembuh’ dalam arti bisa kembali ke fungsinya semula. “Pasien dengan gangguan jiwa bisa kembali bisa bisa bekerja, buka warung, dan berkomunikasi dengan orang lain. Itu definisi sembuhnya,” kata Tun.
Menurut Tun, sebanyak 75-80% pasien gangguan jiwa bisa sembuh, sedangkan sisanya kemungkinan kambuh. “Penyebab kekambuhan biasanya putus obat. Namun dari sisi teknologi kini banyak kemudahan. Tersedia obat-obatan yang disuntik sebulan sekali untuk mengatasi kendala jauhnya jarak kunjungan ke rumah sakit atau dokter. Dengan obat yang disuntik bisa mencegah lupa minum. Obat suntik yang bersifat long acting ini bisa mendukung rencana Indonesia bebas pasung,” imbuh Tun.
Tun menambahkan, gangguan jiwa ringan di Indonesia tergolong meningkat, sementara data untuk gangguan jiwa berat (seperti skizofrenia) umumnya stabil. “Penyebab skizofrenia sampai kini belum bisa ditentukan, para ahli berpendapat mungkin banyak faktor yang memicu sehingga memunculkan gejala,” ujarnya.
“Terpenting bagi keluarga adalah memahami gejala itu sehingga bisa cepat-cepat membawa penderita ke dokter untuk mendapatkan perawatan yang sesuai dan adekuat,” tandas Tun.