
Narkoba dan kehidupan malam selama hampir 2 tahun membuat semua
cita-citaku lebur. Harta orang tua kuhabiskan hanya untuk barang haram
dan menikmati kebebasan. Kini, dugem (dunia gemerlap) telah mengirimku
ke panti rehabilitasi.
Semua masih kusyukuri karena akhirnya aku masih mampu menghindar dari
jeratan kehidupan hina ini. Meskipun aku harus berjibaku melawannya
dengan seluruh jiwa ragaku. Oh ya sebut saja aku Linda (samaran). Aku
dilahirkan di tengah keluarga yang berkecukupan. Ayahku seorang juragan
kopi, sementara ibuku seorang pejabat di salah satu instansi
pemerintahan di kota ini.
Kehidupan ayah dan ibu yang dipenuhi kesibukan, membuat aku dan 3
saudaraku terlantar. Secara materi kami memang dimanjakan dengan
berbagai fasilitas, baik kendaraan, uang saku hingga semua keperluanku
terpenuhi. Tapi satu yang tak pernah ayah dan ibu berikan, yakni kasih
sayang. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga melupakan kami
anak-anaknya yang begitu merindukan belaian kasih orang tua.
Sampai akhirnya, kakak yang pertamaku tewas karena overdosis putauw.
Adikku yang bungsu juga ikut-ikutan terlena di dunia hitam. Ia kawin
lari dengan pacarnya gara-gara hamil di luar nikah. Semua cobaan yang
menerpa keluargaku seolah lengkap sudah ketika aku juga mulai mengenal
kehidupan malam bersama teman-temanku. Dugem bukanlagi Cerita langka
untukku.
Narkobalah yang merusak semua kehidupanku. Aku mengenal barang haram
ini dari kekasihku yang masih satu kampus denganku. Sampai aku
benar-benar dibuat terlena. Hampir dua tahun lamanya aku mengkonsumsi
narkoba, semua kudapatkan dari pacarku. Bahkan, kesucianku rela
kuserahkan demi mendapatkan barang itu.
Kehidupan bebas yang kugeluti bersama pacarku telah membuat aku
mengenal semua kenikmatan semu itu. Kami tak ubahnya pasangan suami
isteri yang tak lagi mengenal waktu dan tempat untuk bisa melampiaskan
hasrat. Kutahu, semua karena pengaruh obat-obatan itu.
Bahkan karena sudah ketergantungan tinggi, semua harta orang tuaku
aku jual demi mendapatkan barang itu. Seminggu saja aku tak
menenggaknya, rasanya mati semua sendi-sendi hidupku. Belakangan ketika
barang itu sudah mulai langka didapatkan, aku harus rela merelakan mobil
pemberian ayah untuk kubarter dengan barang itu. Meskipun kedua
orangtuaku tahu kalau aku sudah menjadi pecandu narkoba, namun mereka
tetap tenang saja, seolah tak terjadi apa-apa denganku. Inilah yang
membuat aku makin putus asa dan benar – benar tenggelam dalam dunia itu.
Dalam masa – masa kritis yang hampir tak mampu lagi menyelamatkan
diri dari gerogotan obat terlarang itu, aku bertemu dengan seorang
pemuda yang kebetulan alumni pesantren. Ia masih tetangga dekatku.
Rupanya diam-diam dia memperhatikan semua kelakuanku selama ini.
Perhatiannya sungguh membuatku meneteskan air mata. Pikirku, ternyata
masih ada orang yang menginginkanku dalam kebaikan. Perlahan ia mulai
memperkenalkan aku dengan semua yang berhubungan dengan agama Allah.
Setiap saat kalau ada waktu, ia tak bosan menemuiku di rumah untuk
memberiku petunjuk agar bisa kembali ke jalan Allah.
Mulailah kemudian aku sadar akan kekeliruanku selama ini. Meski masih
sering tergoda oleh obat itu dan seolah tak mampu lepas darinya, namun
kehadiran seorang sahabat ternyata begitu kuat. Ia pun menyarankan aku
masuk panti rehabilitasi sebagai langkah awal memulai hidup baru.
Tak terpikir lagi yang lain, aku langsung masuk panti dan mulai hidup
di sana. Aku masuk saat Ramadhan lalu. Hampir setiap malam aku menangis
karena menyesal. Kini aku menghabiskan waktu di panti rehabilitasi. Dan
semangat hidupku pun mulai tumbuh kembali. Terima kasih sahabat.