Selamat Datang di www.terapinarkoba.com

Kami berpengalaman menangani KECANDUAN NARKOBA dengan metode MULTI TERAPI Insya Allah kecanduan narkoba dapat di pulihkan dalam waktu relatif singkat, hanya 2 bulan, bukan 6 tahun.
Sudah banyak pasien yang kami tolong, baik dari jawa maupun luar jawa / luar kota

SAKAW dll cepat di pulihkan.

Prosedur Pemulihan kecanduan narkoba bisa RAWAT JALAN dan TERAPI JARAK JAUH pasien tidak harus datang, bisa tetap sekolah, kuliah atau bekerja

SUDAH REHAB TAPI ANDA MASIH KECANDUAN JANGAN RAGU HUBUNGI KAMI


TABIB MASRUKHI,MPA

Telp : 0823 3222 2009


GARANSI >>> klik disini

Catatan : Pecandu Narkoba sangat tergantung dengan peran serta orang tua / keluarga. Karena itu segera lah berobat sebelum semuanya terlambat, kematian atau cacat seumur hidup.

yang perlu di lakukan orang tua terhadap seorang anak pecandu Narkoba ?
1. Bila pecandu ingin Lepas dari ketergantungan narkoba maka segera di obati
2. Bila pecandu belum ada keinginan Lepas dari ketergantungan narkoba maka tetaplah motivasi untuk segera diobati atau setidaknya minum obat ramuan kami dengan harapan pasien merasakan manfaat nya selanjutnya ada kesadaran untuk di pulihkan secara tuntas.

Demikian semoga bermanfaat

Program Terapi Metadon bagi Pecandu Heroin

Labels:

Penulis : Dr Iskandar Irwan Hukom, MA
Sekretaris Jenderal YCAB

Media Indonesia, 23 Februari 2008  

SEJARAH penggunaan candu baik sebagai obat maupun zat yang dapat menimbulkan kenyamanan telah dimulai sejak 3400 sebelum masehi (SM). Candu berasal dari tanaman opium yang memiliki nama Latin Papaver somniferum(atau biasa disebut tanamanpoppy). Pemberian nama tanaman ini dilakukan Bapak Botani Carolus Linnaeus pada 1753. Tanaman ini diklasifikan dalam kategori tertentu yang memiliki arti perangsang tidur. Penanaman opium pertama kali dilakukan di lembah Mesopotamia.

Dari lembah inilah terentang sejarah panjang candu, yang kemudian menyebar ke Mesir, melintasi laut Mediterania menuju Yunani dan Eropa. Tahun 330 (SM) Raja Alexander Agung memperkenalkan opium pada masyarakat India dan Persia.
Pada 440 M, orang di China mulai mengenal opium melalui pedagang dari Arab. Dan di Eropa pada abad ke-14, opium sempat dianggap tabu, sehingga menghilang selama kurang lebih 200 tahun. Namun 1527, opium kembali diperkenalkan di Eropa, khususnya dalam bidang kedokteran, dan digunakan sebagai obat antinyeri.
Tahun 1606, Ratu Elzabeth I menginstruksikan kapal-kapalnya untuk membawa opium kualitas terbaik dari India dan membawanya ke Inggris. Mulai 1700 kapal-kapal Belanda membawa opium menuju China sampai ke daerah-daerah Asia lainnya. Kurang lebih 20 tahun kemudian, banyak orang di China yang menggunakan opium dengan cara dihisap melalui pipa sehingga Kaisar Yung Cheng melarang penggunaan opium secara bebas. Perusahaan Inggris India Timur (British East India Company), terus memperdagangkan opium dengan cara monopoli.
Karena melihat dampak negatif yang terjadi pada rakyat China, Kaisar Kia King melarang perdagangan opium secara keseluruhan. Inggris tidak menerima sehingga pada 3 November 1839, perang candu meletus ditandai dengan serangan angkatan laut Inggris terhadap kapal-kapal sipil China. Perang itu semakin memanas sejak Juli 1840.
Perang itu pecah karena tindakan Inggris yang ingin memperluas perdagangan candu dengan menggunakan wilayah China sebagai jalur perdagangan. Akibatnya, banyak rakyat China yang menjadi pecandu. Pemerintah China kemudian membuang 20 ribu peti candu milik pedagang Inggris ke laut dan akibatnya, meletuslah perang di antara kedua pihak.
Dalam perang ini, China mengalami kekalahan dan terpaksa membayar ganti rugi perang yang sangat banyak kepada Inggris. Namun, Inggris masih belum puas dengan kemenangan itu karena ingin memperluas perdagangan candu. Pada 1856, Inggris dan Prancis kembali berniat memerangi China. Pada 1860, China menyerah dan Inggris semakin leluasa melakukan perdagangan candu.
Jenis-jenis narkoba
Salah satu zat yang berasal dari candu adalah morfin. Morfin berasal dari getah candu, dan pertama kali ditemukan seorang ahli farmasi Jerman yang bernama Friederich Wilhem Adam Serturner.
Pada 1804, heroin disintesa pertama kali oleh CR Alder Wright, seorang ahli kimia dari Inggris yang bekerja di pusat kajian rumah sakit St Marry, London.
Pada 1889, sebuah pabrik farmasi di Jerman secara resmi memasarkan heroin sebagai obat untuk menanggulangi kecanduan morfin dan juga sebagai obat batuk. Peredaran obat ini dihentikan pada 1910, setelah diketahui adanya efek yang merugikan penggunanya (menimbulkan kecanduan).
Heroin sempat diizinkan beredar di Amerika Serikat pada 1914, namun kongres kemudian melarangnya pada 1924.
Ilmu farmasi dan kedokteran terus berkembang sehingga sampai saat ini sudah dapat disintesa berbagai macam jenis obat dari tanaman candu. Dalam bidang kedokteran, obat yang berasal dari tanaman candu (atau obat yang mempunyai daya kerja sama dengan obat dari tanaman candu), digolongkan sebagai narkotik.
Cara kerja narkotik
Narkotik akan bekerja di otak dengan menempati reseptor opioid/ opiat. Di otak manusia terdapat tiga reseptor opiat, yaitu μ, ?, d (mu, kappa, dan delta), yang mempunyai efek masing-masing. Misalnya, reseptor mu bertanggung jawab dalam rasa nyeri, sehingga bila reseptor menerima molekul zat yang cocok dengannya, rasa nyeri akan hilang.
Terdapat tiga golongan narkotik, yaitu narkotik alamiah, contoh morfin dan kodein. Narkotik semisintetis, contoh heroin, dan narkotik sintetis, contoh, fentanyl, petidin, metadon.
Beberapa jenis narkotik, misalnya, morfin dan heroin, dapat memberikan efek yang diinginkan bila diberikan melalui suntikan. Karena itu, penyalahgunaan narkotik jenis heroin dengan menggunakan alat suntik menjadi sangat terkenal di kalangan pecandu heroin.
Penyalahgunaan narkotik dengan cara suntik telah menjadi permasalahan yang kompleks. Di Indonesia peningkatan jumlah IDU (pengguna narkotik suntik) terjadi dengan sangat cepat dan sudah mencapai tahap yang memprihatinkan.
Data P2PL pada 1996-2002 menunjukkan kenaikan infeksi HIV pada pengguna narkotik suntik di Jakarta dan Bogor. Data tersebut diperoleh dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta dan Yayasan Kita, Bogor. Dari RSKO terdapat kenaikan dari 16% (1999) menjadi 48% (2001). Dari Yayasan Kita terdapat kenaikan dari 14% (1999) menjadi 45% (2001).
Metadon
Metadon pertama kali dibuat di Jerman, pada 1939. Setelah melalui penelitian dan riset dari berbagai macam obat penghilang rasa nyeri, dua ahli farmasi di perusahaan Hoechst, yaitu Bockm¸hl dan Ehrhart menemukan obat ini. Pada mulanya obat ini diberi nama Dolophine. Banyak yang menduga nama ini berasal dari nama depan Adolf Hitler, penguasa Jerman saat itu.
Setelah Perang Dunia ke-2, seluruh industri Jerman, termasuk industri farmasi, dikuasai pihak sekutu dan seluruh nama paten dibatalkan. Data-data dan berkas penelitian dibawa ke Amerika termasuk data dan berkas tentang Dolophine. Tahun 1947 obat ini dipatenkan Counsil on Pharmacy and Chemistry of the American Medical Association, dengan nama generik Methadone.
Obat ini kemudian mulai diproduksi pabrik-pabrik farmasi di Amerika maupun di negara-negara lain dengan berbagai merek dagang, misalnya, Adanon, Biodone, Dolamid, Dolophine, Eptadone, Metasedin, Methadone, dan banyak merek dagang lainnya. Metadon dipakai sebagai obat penghilang rasa nyeri dan diyakini dapat digunakan untuk terapi detoksifikasi dan terapi rumatan bagi pecandu heroin.
Efektivitas metadon untuk pecandu heroin
Sebuah penelitian yang dilakukan di Kota Split, Kroasia, mencoba membandingkan tiga kelompok pecandu heroin yang memperoleh tiga jenis perawatan (terapi) yang berbeda. Kelompok pertama (1) terdiri dari 30 pecandu heroin yang mengikuti program terapi rumatan metadon (PTRM). Kelompok kedua (2) terdiri dari 30 pecandu heroin yang mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kelompok ketiga (3) terdiri atas 30 pecandu heroin yang mengikuti program therapeutic community.
Seluruh pecandu itu paling sedikit telah menggunakan heroin selama dua tahun sebelum penelitian dilaksanakan. Terapi dikatakan berhasil, jika pecandu terbukti bersih dari heroin paling sedikit dua tahun setelah mengikuti program. Hasilnya adalah sebagai berikut.
Dari kelompok peserta PTRM , hanya 1 orang yang terbukti tidak menggunakan heroin, walaupun masih menggunakan soft drug dan alkohol.
Dari kelompok peserta yang dirawat di rumah sakit, tidak ada yang terbukti bebas dari penggunaan heroin.
Dari kelompok therapeutic community, didapati sembilan orang yang dapat bebas dari penggunaan heroin.
Kesimpulan dari penelitian ini ialah: Penanganan pecandu heroin dengan cara therapeutic communitymendapatkan hasil yang lebih baik daripada cara terapi rumatan metadon dan atau perawatan rumah sakit.
Pada 2005, dalam kunjungan ke Thanyarak Institute (Thailand), saya mendapat informasi bahwa metadon telah digunakan selama 30 tahun sebagai terapi detoksifikasi dan terapi rumatan untuk pecandu heroin. Tempat ini juga telah mempunyai suatu sistem yang telah diuji berulang-ulang. Suatu kajian retrospektif pernah dilakukan Verachay dkk di Thanyarak Institute, terhadap 195 pasien yang mengikuti program terapi rumatan metadon (Methadone Maintenance Program/ MMP) pada 1990- 1996.
Dari penelitian tersebut dua per tiga kasus harus dibatalkan karena dalam tes urin yang dilakukan didapati lebih dari delapan kali positif untuk heroin (tes urin dapat membedakan antara heroin dan metadon). Kesimpulan dari penelitian ini, sekalipun program ini merupakan suatu program yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku adiksi dari pecandu heroin, tetapi program ini belum menjadi perangkat yang menjanjikan untuk menghentikan masalah adiksi.
Terapi metadon di Indonesia
Di Indonesia kurang lebih tiga tahun yang lalu metadon mulai diujicobakan kepada pecandu heroin di RSKO Jakarta. Metadon yang diberikan berasal dari lembaga- lembaga donor dunia. Dan pada 2006 menteri kesehatan mengeluarkan keputusan No 494/ MenKes/SK/VII/2006 tentang Penetapan Rumah Sakit & Satelit Uji Coba Pelayanan Terapi Rumatan Metadon, serta Pedoman Program Terapi Rumatan Metadon.
Di dalam surat keputusan tersebut telah ditetapkan beberapa rumah sakit dan puskesmas sebagai tempat uji coba terapi metadon (Lihat tabel).
Program ini pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu program detoksifikasi dan program rumatan. Untuk program detoksifikasi dibedakan menjadi jangka pendek dan jangka panjang yaitu jadwal 21 hari, 91 hari, dan 182 hari. Sedangkan program rumatan/pemeliharaan berlangsung sedikitnya 6 bulan sampai 2 tahun atau lebih lama lagi.
Dalam SK Menkes No 494/SK/ VII/2006, kriteria untuk menyatakan seseorang termasuk pecandu atau bukan, digunakan pedoman ICD-10, suatu pedoman klasifikasi internasional yang dibuat di Kopenhagen pada 1982. Namun dalam lampiran SK Menkes No 567/ SK/VIII/206, tentang pedoman pelaksanaan pengurangan dampak buruk napza, kriteria yang digunakan untuk terapi substitusi ialah DSM-IV (diagnostic and statistical manual), yaitu kriteria yang dikeluarkan asosiasi dokter jiwa di Amerika Serikat pada 1990- an.
Menurut para ahli jiwa di Amerika Serikat, DSM-IV ini, lebih jelas untuk digunakan ketimbang ICD- 10 (lihat boks 1). Menurut saya kedua kriteria ini hanya bermanfaat bagi para pakar dan untuk kepentingan penelitian, dan ini tidak dapat dijadikan dasar absolut, khususnya ketika bertemu kasus adiksi di lapangan.
Memang alangkah baiknya jika surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh menteri kesehatan mempunyai keseragaman dalam menggunakan kriteria diagnosis, supaya tidak menimbulkan kebingungan, khususnya bagi para peneliti yang akan mengkaji program terapi rumatan metadon.
Jika kita terus mengkaji SK ini, jelas tercantum bahwa program ini, tidak bisa tidak, harus disertai dengan sesi-sesi konseling, bahkan juga dalam komponen ketiga tersirat adanya terapi keluarga.
Kembali muncul pertanyaan bagaimana dengan tenaga-tenaga dokter, konselor, apakah telah mencukupi baik dari sisi jumlah maupun mutunya, lalu bagaimana sistem pengawasan tenaga-tenaga ini. Jika konseling tidak dilakukan, maka program ini tentu saja perlu dipertanyakan efektivitasnya.
Saya yakin bahwa setelah 2 tahun program ini berjalan, hasil dari laporannya akan baik. Tetapi pertanyaannya adalah, seberapa baik yang dimaksud dengan 'baik' itu? Jika berjalan tidaknya program dianggap sebagai tolok ukurnya, maka akan menjadi mudah untuk mengatakan baik. Namun bagaimana dengan perubahan perilaku adiksi dari para pecandu heroin yang ikut serta dalam program ini?
Perspektif keuangan atas terapi metadon
Saya juga memikirkan bagaimana kelanjutan dari program ini, terutama jika lembaga donor tidak lagi memberikan bantuan berupa obat metadon. Siapkah kita dengan segala sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankannya secara mandiri?
Memang saat ini setiap peserta PTRM, hanya dikenakan biaya Rp 5.000 dan setahu saya bantuan metadon, berupa subsidi, masih didapatkan dari lembaga donor. Secara kasar saya memperkirakan, jika subsidi ini dihentikan, peserta program ini harus mengeluarkan biaya paling sedikit Rp20 ribu untuk setiap kali datang guna mendapatkan obat ini. Biaya ini belum termasuk biaya transpor dll.
Jika Puskesmas diberdayakan menjadi pelaksana PTRM, untuk satu orang pecandu heroin kirakira satu puskesmas membutuhkan biaya sekitar Rp600 ribu/bulan, belum termasuk gaji pegawai, konselor. Setahu saya sebuah puskesmas di Jakarta yang telah menjalankan PTRM, sebulannya rata-rata dapat melayani 150 sampai 200 peserta PTRM, sehingga biaya yang dikeluarkan tinggal dihitung saja.
Saya berpendapat jika pada akhirnya biaya ini akan menjadi tanggung jawab dari pemerintah (dalam hal ini Departemen Kesehatan, Badan Narkotika Nasional dan Badan Narkotika Provinsi/ Kodya/Kabupaten), beban ini juga akan ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia. Apakah beban berat yang ditanggung rakyat Indonesia saat ini masih akan ditambah dengan beban untuk menyubsidi para pecandu heroin?
Bagaimana kita menyikapi hal ini? Tentunya jika permasalahan penyalahgunaan narkoba tidak ditangani dengan tepat dan dikaji terus menerus, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani masalah ini semakin hari akan semakin besar. Akhirnya akan terjadi pengulangan sejarah seperti yang dialami China saat candu digunakan sebagai senjata untuk 'menjajah' suatu negara (tetapi kali ini dalam bentuk 'legal'). Maukah Anda?***