Oleh Anton Muhajir
Injecting drug user (IDU) pasien terapi buprenorphine di Bali banyak
yang menyalahgunakan obat tersebut dengan cara menyuntikkan. Padahal
obat ini seharusnya digunakan dengan cara oral, diletakkan di bawah
lidah.
Buprenorphine, di kalangan IDU lebih dikenal dengan nama pasaran
Subutex, adalah obat untuk terapi substitusi heroin. Pasien terapi
buprenorphine adalah pengguna heroin yang sedang berusaha melepaskan
ketergantungannya dari heroin. Penggunaan buprenorphine dengan dosis
yang terus menerus mengecil akan mampu menghilangkan ketergantungan dari
narkoba.
Menurut aturan pakai di bungkus obat
maupun resep dari dokter, obat berbentuk pil ini harus dipakai dengan
cara oral, dilarutkan di bawah lidah. Namun, bagi IDU yang sudah
terbiasa mengonsumsi heroin dengan cara menyuntik, cara pakai tersebut
dianggap tidak asik. Maka, mereka menyalahgunakan dengan cara
menyuntikkan.
Salah satu pasien terapi buprenorhpine, Iwan, bukan nama sebenarnya,
mengaku dia lebih senang menyuntik buprenorphine dibanding melarutkannya
di bawah lidah. “Kalau pakai dengan cucaw (bahasa slang untuk
menyuntikkan Narkoba), lebih ada sensasinya,” katanya.
Iwan yang pernah menggunakan heroin sejak 1998, sebelum beralih ke
buprenorphine, mengaku menyuntikkan buprenorphine sebenarnya lebih
sakit. Rasa obat juga tidak terasa dibanding kalau menggunakannya secara
oral. Namun, dia melakukan itu karena belum bisa menghilangkan sugesti
ketika pakai heroin.
Karena itu dia tetap saja menyuntikkan buprenorphine meski rasanya
tidak seenak kalau dioral. “Yang penting kan bisa menghilangkan sakaw
(rasa sakit ketika tidak menggunakan heroin),” ujarnya.
Iwan menggunakan Subutex sejak pertama kali obat tersebut dijual di
Bali sejak sekitar 2004. Dari yang semula aktif menggunakan putaw,
bahasa slang untuk heroin, Iwan kemudian beralih ke buprenorhpine. Kini
dia memakai buprenorphine dengan dosis 2 ml untuk dua hari. “Saya bagi
dua saja obatnya untuk dua hari,” katanya.
Dia tidak mau pakai methadone, obat jenis lain yang digunakan untuk
substitusi heroin juga. “Percuma. Biasanya kalau pake methadone pasti
masih pakai heroin,” katanya.
IDU lain, Agus, nama samaran, juga melakukan hal yang sama. Dia
memilih menggunakan buprenorphine dengan cara menyuntik daripada cara
oral.
“Dokter juga sudah tahu sejak awal kalau aku pakai dengan cara
cucaw,” akunya ketika ditemui di depan apotik di daerah Sanglah tempat
dia membeli Subutex.
“Tapi dokter toh tidak melarang. Katanya yang penting aku tidak pakai putaw,” tambahnya.
Kini Agus menggunakan buprenorhine dengan dosis 2 ml per hari. Obat
itu, yang menurut cara pakainya harus dioral, dia haluskan lalu dicampur
air. Setelah disaring dengan kapas, air campuran buprenorphine itulah
yang kemudian dia suntikkan ke urat.
Penyuntikan ke saraf ini berbahaya. Sebab, kalau tidak tepat pada
saraf, maka obat itu akan mengakibatkan pembengkakan pada urat (abses).
Iwan mengaku tidak pernah mengalami abses karena dia menyuntik dengan
besih. “Kalau aku kan saring dulu agar ampas Subutexnya tidak ikut
masuk ke urat,” katanya. Agus beda lagi. Sudah tak terhitung berapa kali
dia mengalami pembengkakan di urat.
Tapi Agus cukup pakai kompres untuk menyembuhkan pembengkakan tersebut. “Paling dua hari sudah hilang bengkaknya,” kata Agus.
Pembengkakan merupakan salah satu dampak negatif penyalahgunaan
buprenorphine. Toh, hampir semua pasien terapi buprenorphine ternyata
melakukan itu, menyuntikkannya. “Aku yakin 85 persen IDU (pasien terapi
buprenorphine) menyuntik daripada oral,” kata Agus.
Nyoman Suasta, petugas lapangan Yayasan Hatihati, salah satu lembaga
penanggulangan AIDS di Bali yang melaksanakan program harm reduction,
antara lain dengan memberikan jarum suntik steril pada IDU, mengatakan
semua kliennya adalah pengguna buprenorphine dengan cara menyuntik.
Nyoman yang bekerja untuk wilayah Denpasar dengan tujuh klien,
mengaku kliennya adalah pengguna buprenorhpine dengan jarum suntik,
bukan oral. Dia sudah memberikan informasi tentang dampak negatif
penyalahgunaan tersebut, namun kliennya tetap menyalahgunakan
buprenorphine tersebut.
“Kami semua tidak perlu dikasih tahu dampak negatifnya. Kami semua
sudah tahu. Tapi kami kan belum bisa menghilangkan sugesti,” kata Agus.
Denny Thong, dokter yang memberikan layanan terapi buprenorhine,
mengakui bahwa di kalangan IDU memang banyak penyalahgunaan
buprenorphine ini. “Mereka masih terus menyuntik meski kamu sudah
berusaha setengah mati untuk tidak melakukan itu,” kata Denny. Hal
tersebut, lanjutnya, tidak hanya terjadi di Bali tapi juga Indonesia dan
dunia. Dari sekitar 100 pasiennya, Denny mengaku hampir semuanya
menyuntikkan buprenorphine.
Menurut Denny, penyuntikan Subutex bisa berakibat fatal. Selain
pembengkakann juga bisa mengakibatkan pembuluh darah tertutup. “Paling
parah bisa mengakibatkan kematian,” ujar Denny.
Selain dengan cara memberi tahu dampak negatif, menurut Denny, saat
ini juga sudah ada obat baru bernama Suboxon dengan kandungan zat yang
sama dengan Subutex. Namun, lanjut Denny, banyak IDU yang tidak suka
dengan obat ini. Sebab kalau disuntik memang tidak terasa apa-apa.
“Kami seperti menjerit di tengah padang pasir. Tidak ada yang mau peduli,” ujarnya. [b]