Dr.Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III,SE(MTRU),M.Si
Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX
MALU merasa malu.
Awal tahun 2012 ini, saya agak terganggu
dengan pemberitaan mengenai penyebaran HIV – AIDS di Bali.
Saya agak
kurang percaya dengan angka – angka yang disodorkan oleh lembaga
kesehatan atau organisasi AIDS tentang jumlah penderita HIV – AIDS di
Bali atau jumlah orang Bali yang jadi korban setiap bulannya.
Selain
faktor budaya yang tertutup akan hal – hal tabu dan memalukan seperti
ini, masyarakat Bali cenderung menutup diri terhadap penyakit yang
dianggap sebagai kutukan dewata ini, yang akhirnya, kembali memaksa saya
menyakini bahwa jumlah pengidap HIV – AIDS di Bali minimal 5 kali lipat
dari data yang sesungguhnya,dari mereka yang belum mengaku tentunya.
Hingga sebagian besar yang terkena dampaknya adalah generasi muda, para
purusa – purusa Hindu
Bali yang akan menjadi tonggak ketahanan agama
Hindu – Bali masa depan. Dan sebagian dari masyarakat kita sepakat,
bahwa penyebaran HIV – AIDS di Bali sebagian besar karena faktor seks
bebas dibandingkan narkoba yang terlalu mahal bagi orang Bali
kebanyakan.
Dengan seks bebas bermodal duapuluh lima ribu rupiah, para
purusa Bali dapat mencicipi kesenangan lokal, apalagi jika kita amati
dengan semakin tumbuh berkembangnya keberadaan kafe – kafe liar hingga
ke pelosok desa. Tentu kafe liar ini dilengkapi dengan SDM para Pekerja
Seks Komersial ( PSK ) yang saya yakini (lagi) didominasi oleh perempuan
non-Hindu dan pendatang luar Bali. Keberadaan infrastruktur penyebar
AIDS ini, rasanya makin mendapat legitimasijika disandingkan dengan
tingkah polah kultur negative “belog ajum” para pemuda – pemuda Bali yang justru bangga ketika berhasil mencicipi PSK dipusat lokasisasi.
Jamak kita dengar dari obrolan ngalor –
ngidur pemuda Hindu Bali dibalai banjar, bahwa dengan bangganya anak –
anak kita menceritakan tentang pengalaman raga ber-PSK dan
ber-lokalisasi ria. Bahkan dipedesaan,saya amati, ada anggapan seorang
pemuda desa belum sah mendapatkan “stempel” sebagai laki – laki sejati
jika belum menjajaki pengalaman di kafe liar dengan PSK, hal ini
diperparah dengan polah para senior – senior didesa yang justru
mendukung gaya hidup tidak sehat ini. Tentu kita tidak ingin masuk
terlalu dalam kesebuah wilayah privat tentang gaya hidup seks bebas
generasi muda Bali, tapi jika sudah berhubungan dengan komunitas, sebuah
civil society dan ketahanan Hindu dan Bali, maka ini sudah
menjadi urusan publik, urusan masyarakat.
Jika anak – anak muda Hindu
Bali sudah terkena virus HIV-AIDS, tentu pertahanan agama Hindu dan
budaya Bali yang berbasis pada “krama / manusia” akan terancam. Belum
lagi aksi pemerintah dan program KB-nya yang sukses mengurangi jumlah
krama Hindu dengan paksaan selalu punya anak dua ( yang disatu sisi umat
lain boleh berpoligami dengan istri maksimal 5 orang ). Tentu hal ini
akan merugikan keluarga – keluarga Hindu yang terlanjur punya dua anak,
tapi putra – putranya mati karena AIDS atau Rabies. Dan kini, saya
dituntut semakin percaya bahwa ternyata gerakan penyebaran HIV – AIDS
ini adalah gerakan jihad tersembunyi yang dilakukan oleh kelompok
kecil fundamentalis Islam yang sama – sama menjadi sponsor Bom Bali I
dan Bom Bali II. Kenapa ? menurut mereka, bahwa Bali tidak akan pernah
bisa hancur karena Bom, ini dibuktikan Bom Bali I dan Bom Bali II tidak
mampu untuk menghancurkan kekuatan taksu Bali sebagai pulau Hindu yang
disayangi dunia.
Tetapi, kini ada senjata model baru
untuk menghancurkan Bali yakni gerakan ekonomi seperti gerakan pecel
lele, gerakan minimarket berjaringan, roti bandung, nasi tempong, nasi
pedas, tukang cukur, gerakan labelisasi halal disetiap hotel dan
restoran di Bali (saya akan bahas ditulisan berikutnya ). Dalam hal
penyebaran HIV – AIDS, diduga orang – orang Bali, anak – anak muda Bali
ketika mereka datang ke café, maka para PSK tidak menyarankan untuk
memakai kondom, tapi sebaliknya, jika ada kaum pendatang yang
memanfaatkan PSK, maka sangat disarankan untuk memakai kondom. Mungkin
para gadis – gadis PSK itu sudah dicuci otaknya, agar Bali ini 10 tahun
kedepan banyak suami – suami, anak – anak muda yang mati nelangsa karena
HIV – AIDS. Dan sebagai intropeksi bagi pemuda Hindu Bali, apakah
mereka tidak sadar akan penyebaran HIV – AIDS akan merenggut nyawa istri
dan pasangan mereka ? Dan yang membuat saya malu, justru kepemilikan
café – café liar di Bali ini, justru disinyalir banyak dimiliki oleh
oknum – oknum anggota DPRD dan Politisi.
Hal ini sudah menjadi rahasia
umum dan perlu digerakkan semacam perlawanan sosial kepada mereka, kaum
yang mengklaim diri pemimpin, tapi justru memelihara kafe liar dan para
PSK. Yang paling menyesakkan adalah keberadaan kafe liar,keberadaan
pusat lokalisasi dan prostitusi justru didukung oleh manggala desa adat,
banjar adat dengan iming – iming kontribusi bagi desa. Inilah yang saya
sebut sebagai kehancuran Bali secara sistematis.
Seorang sahabat aktivis budaya di
Gianyar, memberikan saya fakta bahwa ada satu banjar di Gianyar yang
sebagian besar pemudanya tersebar penyakit HIV ! Belum lagi, ribuan ibu –
ibu yang tidak berdosa di Bali rentan terkena penyakit AIDS akibat
ulang suaminya yang pelanggan aktif PSK, narkoba atau galeri tato.
Sungguh menyesakkan. Disatu sisi, penyuluhan anti AIDS oleh lembaga
terkait, masih saya perhatikan kurang menarik dan tidak ngaruh, terlalu
teoritis, terlalu formal dan membosankan. Seharusnya sosialisasi AIDS
disampaikan dengan cerita – cerita populer, pendekatan presentasi yang
berbeda, dan testimoni penderita dengan bahasa dagang bukan dengan
bahasa kampus karena sebagian besar rakyat Bali dibawah pendidikan rata-
rata. Bukan seperti sekarang, pejabat yang berpendidikan tidak
seberapa, tapi seolah – olah paling pintar dalam urusan HIV – AIDS. Jika
tidak diperbaiki dari sekarang, maka 10 tahun kedepan, kita hanya
menyaksikan mereka, para praktisi jihad akan terbawa terbahak – bahak
dan bertepuk tangan menyaksikan pemuda – pemuda, purusa – purusa Bali
berakhir ditungku pembakaran api jenazah, berkalang tanah diusia muda,
mati karena HIV – AIDS akibat belog ajum. Sebuah bencana yang seharusnya bisa dicegah by system.
Jika berkenan, perbanyak dan sebarkan tulisan saya ini dan sebarkan
lingkungan banjar, desa dan para pemuda disekitar pembaca. Jika sampai
tulisan ini bisa menyelamatkan satu nyawa saja, betapa bahagianya kita
sebagai orang tua sudah berusaha berjuang sederhana hanya lewat tulisan.
Mari jadikan HIV – AIDS dan Sifat Belog Ajum-ya pemuda Bali sebagai
bahaya laten Bali saat ini.
sumber : http://vedakarna.net/hiv-aids-jihad-model-baru-di-bali/
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan komentar atau berbagi pengalaman.
Bila Saudara Menginginkan balasan secapatnya dari kami, komfirmasi ketik KOMENTAR kirim ke 082332222009. Terimaksih