TEMPO Interaktif, Semarang: Seorang guru SMP di Kendal, Jawa Tengah, didiagnosa menderita
Guillain-Barre Syndrome
(GBS), penyakit langka yang menyerang susunan saraf. Guru bernama
Susanti, 28 tahun, ini terpaksa harus menjalani pengobatan dengan biaya
Rp 22 juta per hari.
Kakak Susanti, Sumardi, mengatakan
sejak pertengahan Juli adiknya menjalani perawatan di ruang ICU Rumah
Sakit Islam Sultan Agung, Semarang. Berdasarkan penjelasan dokter,
susunan saraf Susanti diserang penyakit secara akut dan menyeluruh.
Serangan itu sudah mengenai saraf otak yang didahului dengan infeksi.
"Menurut catatan direksi RS Sultan Agung, baru kali ini mereka mendapati
jenis penyakit ini," kata Sumardi, Senin (16/8).
Dokter
mengatakan, Susanti harus menjalani penanganan yang serius karena GBS
sudah melemahkan syaraf pernapasan. Sesuai rekomendasi dokter, Susanti
harus diberi 8 botol Imunoglobulin setiap hari untuk menetralisasi
autoantibodi. Sebab, hanya itulah satu-satunya obat untuk GBS.
Harga
Imunoglobulin per botol Rp 2,5 juta rupiah. Sedangkan dalam sehari
Susanti bisa membutuhkan 8 botol. Karena itu paling sedikit Sumardi
harus menyiapkan biaya Rp 20 juta untuk membeli obat. Kebutuhan itu
belum termasuk biaya sewa ventilator (alat bantu pernapasan) yang
mencapai Rp 2 juta per hari serta biaya-biaya medis lainnya.
Alat bantu pernapasan itu sudah lebih dari 15 hari digunakan untuk
membantu Susanti. Apabila alat itu dilepas, dalam beberapa menit
Susanti mengalami gagal napas dengan akibat kematian.
Sesuai
keterangan dokter, kata Sumardi, hingga kini belum ada pengobatan
spesifik untuk penyakit SGB. Dokter hanya memprediksi bisa diobati
secara simptomatis. Namun cara ini membutuhkan waktu antara 3 sampai 6
bulan. Sumardi pun harus menyiapkan uang hingga ratusan juta rupiah.
Menurut
Sumardi, keluarga sebenarnya sudah tidak memiliki biaya lagi. Namun
pengobatan terhadap Susanti tidak mungkin dihentikan. Terutama
penggunaan alat bantu pernapasan. "Kalau alat bantu pernapasan dilepas
artinya sama dengan membiarkan adik saya mati," kata Sumardi.
Sebagai
guru di SMP Ma'arif Nahdlatul Ulama, Brangsong, gaji Susanti tidak
bisa menjangkau biaya pengobatan. Keluarganyapun hanya menggantungkan
hidup dari bertani. Padahal, sampai hari ini, tagihan biaya pengobatan
yang harus mereka bayar sudah lebih dari Rp 100 juta.
Dengan
tagihan sebesar itu, keluarga tidak mampu lagi membeli obat dan
pemberian Imunoglobulin sudah dihentikan sejak 10 Agustus. Sumardi
mengaku sudah menggadaikan tanah untuk membeli obat. Namun uang yang
diperoleh dari pinjaman itu hanya cukup memenuhi kebutuhan Imunoglobulin
empat hari. "Padahal poses pengobatan masih belum tahu sampai kapan,"
katanya.
Sumardi berharap agar ada para dermawan yang sudi
menyalurkan bantuan untuk biaya pengobatan Susanti. Saat ini, alamat
Sumardi berada di Kedungpucung, RT 02, RW 07, Tunggulsari, Brangsong,
Kendal.
ROFIUDDIN