Selamat Datang di www.terapinarkoba.com

Kami berpengalaman menangani KECANDUAN NARKOBA dengan metode MULTI TERAPI Insya Allah kecanduan narkoba dapat di pulihkan dalam waktu relatif singkat, hanya 2 bulan, bukan 6 tahun.
Sudah banyak pasien yang kami tolong, baik dari jawa maupun luar jawa / luar kota

SAKAW dll cepat di pulihkan.

Prosedur Pemulihan kecanduan narkoba bisa RAWAT JALAN dan TERAPI JARAK JAUH pasien tidak harus datang, bisa tetap sekolah, kuliah atau bekerja

SUDAH REHAB TAPI ANDA MASIH KECANDUAN JANGAN RAGU HUBUNGI KAMI


TABIB MASRUKHI,MPA

Telp : 0823 3222 2009


GARANSI >>> klik disini

Catatan : Pecandu Narkoba sangat tergantung dengan peran serta orang tua / keluarga. Karena itu segera lah berobat sebelum semuanya terlambat, kematian atau cacat seumur hidup.

yang perlu di lakukan orang tua terhadap seorang anak pecandu Narkoba ?
1. Bila pecandu ingin Lepas dari ketergantungan narkoba maka segera di obati
2. Bila pecandu belum ada keinginan Lepas dari ketergantungan narkoba maka tetaplah motivasi untuk segera diobati atau setidaknya minum obat ramuan kami dengan harapan pasien merasakan manfaat nya selanjutnya ada kesadaran untuk di pulihkan secara tuntas.

Demikian semoga bermanfaat

PECANDU NARKOBA DAN INTEGRITAS SOSIAL

Labels:

Oleh Veronica Colondam
MSc di bidang Kebijakan dan
Intervensi Alkohol dan Narkotika
PROSES pecandu untuk sembuh sebuah perjuangan berat, namun bukan akhir dari sebuah perjalanan panjang yang masih harus ia tempuh. Ini justru sebuah awal dari hidup baru yang harus ia perjuangkan: bagaimana mendapat pekerjaan yang layak, memulai karier atau membina keluarga.
Keberhasilan sebuah program rehabilitasi dalam arti luas seharusnya tidak hanya diukur dari kemampuan merehabilitasi tubuh dan mental pecandu, tetapi juga dari keberhasilan mengintegrasi mereka kembali ke masyarakat. Namun jika ukuran itu yang digunakan, tidak banyak lembaga rehabilitasi yang berani mengklaim program mereka efektif.
Tanpa perlu memperpanjang bahasan ini, pada kenyataannya banyak pecandu justru sering menemui jalan buntu. Ketika mereka pulih dan siap terjun ke dalam masyarakat, terjadilah penolakan terhadap mereka. Bentuk frustrasi seperti itu dapat mengakibatkan terjadinya relapse (kembali menjadi pecandu).
Di sisi lain, masyarakat pun sering dikecewakan; ketika pintu kesempatan dibuka, pecandu sering labil dan kembali ke kubangan lama mereka. Itu menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap mantan pecandu.

Apa sebenarnya yang terjadi pada pecandu sehingga mereka labil? Saya sering bertanya kepada diri saya sendiri: apa bedanya antara mereka yang mau tapi tidak bisa dan yang mau serta bisa pulih? Proses perubahan seperti apa yang sebenarnya terjadi pada para pecandu sehingga hasil akhirnya bisa berbeda-beda ?
Pecandu berubah?

Banyak teori dipaparkan para ahli dalam menganalisis proses perubahan pecandu. Ahli sosiologi tentunya mengusung pengaruh lingkungan dan faktor eksternal lainnya seperti the distribution of power in a relationship, faktor kultural (enggak enak hati dan ketersediaan narkoba), ahli psikologi mengagungkan faktor diri sendiri sebagai pencetus perubahan, sedangkan ahli acak-kadung (ahli penggabung teori psikologisosiologi atau sosiologi-psikologi, saya pun tidak tahu bedanya!) menggunakan semua analisis dan observasi ahli dalam membangun teorinya sendiri.
Para ahli ilmu bio-sosiologi seperti Glatt percaya perlunya tekanan tertentu (yang datang dari lingkungan pecandu) sebagai pemicu kondisi rock-bottom untuk terjadinya perubahan. Tekanan tersebut umumnya mencakuphal-hal yang disebut sosiolog Ron Roizen sebagai 4L liver, lover, livelihood, law. Liver bicara tentang kesehatan dan kemungkinan kematian instan, lover mengacu kepada persoalan hubungan dan keluarga, livelihoodlaw tentunya mengenai ketakutan pecandu untuk bercanda maut dengan hukum dan tindak kriminal lainnya. mewakili masalah ekonomi atau masalah di tempat kerja, dan
Ada pula sejumlah teori yang turut mendukung peran pengambilan keputusan secara rasional dalam perubahan tingkah laku pecandu yang digagas Fisher.

Akan tetapi, teori itu menjadi kurang meyakinkan karena mereka seakan-akan melupakan pengaruh adiktif narkoba yang menyerang otak pecandu pada bagian prefrontal cortex sehingga pada kondisi ini, apa yang rasional telah diganti impuls perilaku semata, tanpa penalaran sebagai akibat hantaman narkoba.
Pentingnya proses internalisasi dalam sebuah perubahan merupakan tema utama bagi beberapa pendukung teori yang dikemukakan Whitehead (1992). Aliran psikologi kognitif yang dimotori Orford juga sependapat dan mengatakan bahwa orang meningkat kesadarannya untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah muncul saat ia mulai membandingkan dan menimbang unsur pro-kontra, untung-rugi kondisi kecanduannya. Motivasi pecandu untuk berubah total dapat terjadi melalui peristiwa penting dalam hidupnya, seperti menikah, punya anak, mengalami pengalaman spiritual atau hal lain.
Model Orford itu kelihatannya memiliki keampuhan menjelaskan proses perubahan. Intinya, semua faktor (baik internal maupun eksternal) harus ‘bermain cantik’ dalam proses internalisasi pecandu untuk berubah dan didukung lingkungan yang kondusif.

Kekuatan kehendak dan motivasi untuk berhenti merupakan sikap yang kerap dianut ahli psikologi lain dan ditetapkan sebagai faktor pemicu perubahan. Beberapa ahli sosiologi dengan perspektif interactionist juga menyebut-nyebut motivasi sebagai modal sentral perubahan.
Perlu dicatat bahwa tumpang tindih kedua disiplin ilmu bukan hal baru. Bagi saya, overlap berbagai bidang ilmu seyogianya harus diterima sebagai kekayaan intelektual dan bukan debat untuk saling menjatuhkan.
Setidaknya, kali ini para ahli psikologi dan sosiologi tampaknya menemukan satu benang merah, yakni motivasi.
Motivasi penting hadir dalam awal sebuah proses perubahan. Mengapa dan bagaimana seseorang menemukan motivasi tersebut, menurut saya, semua tergantung pada setiap individu serta situasi dan kondisi yang menyertainya. Semua faktor yang telah disebutkan jelas diperlukan untuk mempertahankan sebuah perubahan karena mempertahankan terkadang jauh lebih sulit.
Siklus sebuah perubahan
Ada sebuah model yang dibuat Procanska & DiClementi (1982).
Walau sudah berusia lebih dari dua dekade, model ini masih mampu memberikan gambaran yang cukup baik, tahap apa saja yang terjadi pada pecandu ketika menuju kepulihan.
Model ini berpotensi untuk membantu kita merancang model intervensi terpadu yang dapat disesuaikan pada setiap tahapan tersebut.
Empat tahap model perubahan Prochaska dan DiClementi adalah precontemplation, contemplation, action, maintenance (lihat tabel 1)
Model lain?
Yang pasti, perubahan itu terjadi dalam fase majemuk yang dipengaruhi faktor multidimensi, multikultural, multiproses, dan berbagai multi lain. Interaksi dan dinamika berbagai faktor ‘multi’ itulah yang meramalkan perubahan permanen dalam hidup pecandu. Kata ‘permanen’, menurut kamus diplomasi para ahli adalah kondisi yang fragile atau rentan.
Bahasa diplomasi yang digunakan para ahli ini biasanya mengakhiri sebuah jurnal ilmiah. Bunyinya kira-kira seperti ini, “Banyak ahli berpendapat bahwa sebuah teori kombinasi yang mengakomodasi semua kondisi dibutuhkan agar secara layak mendeskripsikan sebuah perubahan yang terjadi”
Sebenarnya faktor mana yang bermain aktif dan berperan dalam proses perubahan, para ahli pun bingung tapi enggan untuk mengakuinya. Para ahli selalu membuat deskripsi berdasarkan sesebuah observasi tertentu terhadap perilaku dan peran lingkungan terhadap perilaku tersebut. Sampai disini, ilmu pengetahuan belum dapat memberi jawaban pasti. Yang pasti, kondisi yang berbeda memerlukan pendekatan yang berbeda pula.
Tidak ada hal yang baru, semuanya tampak rumit dan relatif. Akan tetapi, ada sebuah kondisi yang disebut spontaneous remission yang mewarnai model perubahan lain. Sesuai dengan namanya, spontaneous remission menjanjikan kondisi pemulihan yang terjadi secara spontan tanpa melewati rock bottom.
Dalam kasus kecanduan rokok, misalnya, ada perokok yang dapat berhenti pada titik mana pun dan dalam kondisi apa pun semudah ia membalikkan tangan.

Bagi para pecandu narkoba, kepulihan seperti ini sangat langka, apalagi pada mereka yang kecanduan heroin, kokain atau sabu. Dan kalaupun terjadi, bagi sebagian pecandu, itu merupakan mukjizat.
Dalam peristiwa seperti itu, kebanyakan dari mereka mengakui adanya intervensi ilahi.

Pastinya, banyak pecandu berharap bisa mengalami spontaneous remission. Siapa yang tidak mau? Mungkin satu-satunya jalan untuk mengalaminya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan dan berdoa agar terjadi intervensi ilahi. (Lihat tabel 2)
Di sini mentok:

Dua hal yang membuat perjuangan pecandu itu berlangsung seumur hidupnya, yakni:
» Kapasitas diri menurun
Penggunaan narkoba menyebabkan rusaknya kerja otak. Pada saat zat adiktif menstimulasi otak, pastilah membawa pengaruh terhadap fungsi luhur pecandu. Beberapa jurnal adiksi menemukan bahwa pada otak pecandu terjadi pengurangan aktivitas pada prefrontal cortex, bagian otak yang mengatur logika dan pengambilan keputusan. Akibatnya, fungsi pikiran rasional pada pecandu tidak lagi dapat menguasai perilaku impulsifnya.
Menurut para ahli neuroscience seperti dikutip majalah Time dalam artikel
How We Get Addicted, kerusakan otak akibat narkoba dikhawatirkan permanen. Walau dalam berbagai CT scan yang dilakukan terhadap pecandu kokain yang telah abstain selama 100 hari terlihat ada kemajuan, tapi pada pecandu sabu, proses itu tidak terlihat sampai 14 bulan setelah abstain. Bahkan, pada pecandu ganja jangka panjang, keenceran otak pecandu mengarah kepada kondisi schizophrenia menetap.
Bukan saja kemampuan otak, daya ingat, fungsi luhur dan logika pecandu yang menurun, melainkan efek psikologis kronis penyalahgunaan narkoba sungguh terlihat.

Pengaruh psikologis pecandu lebih dari sekadar kecenderungan atas sugesti yang membawa mereka ke kondisi relaps. American Journal of Psychology mencatat setidaknya delapan efek psikologis kronis akibat kecanduan: depresi dan perubahan mood yang tidak terkendali, terganggunya persepsi, logika dan kemampuan mengambil keputusan terganggu, insomnia, hiperaktif, sering panik dan khawatir berleberlebihan yang mengarah kepada kondisi psikosis.
Kapasitas badani dan efek psikologis yang menurun itu jelas dapat membawa dampak terhadap kehidupan pecandu dalam kehidupan sehari-hari dan pastinya pada prestasi di tempat kerja. Melalui program rehabilitasi yang baik, semoga efek – efek negatif ini bisa diperbaiki.
Pulih, bukan sembuh
Sampai di sini, saya sering kali bingung dalam menggunakan istilah sembuh dan pulih. Memang banyak ahli percaya bahwa dalam dunia narkoba dan kecanduan, tidak ada kata sembuh. Yang ada, hanya pulih (lihat artikel Adiksi Narkoba: Sembuh, tidak Sembuh, Sembuh, tidak Sembuh (Media Indonesia, 26 Januari 2008 – halaman 6).
Ternyata pulih dan sembuh itu berbeda.
Rusaknya otak dan ketidakberdayaan fungsi luhur menyebabmenyebabkan ketidakstabilan psikologis yang melemahkan motivasi untuk sembuh sekaligus mencetuskan sugesti pecandu. Tentunya, ketersediaan narkoba yang diumbar teman-teman lama dari lingkungan pecandu menjadi faktor pendorong lainnya. Multifaktor itu tarik-menarik dan yang lebih kuat tentunya akan menang.
Sedihnya, menurut catatan WHO, hanya satu dari 20 pecandu ditemukan akan benar-benar pulih dan berhasil berintegritas kembali ke dalam dunia nonpecandu, seperti mendapatkan pekerjaan dan dapat berprestasi.
Pertanyaannya berikutnya, apakah masyarakat dan tempat bekerja siap menerima pecandu yang pulih berkeja dan berkarya?
Di sana mentok:

Dunia ini seakan tidak adil. Suksesnya seorang pecandu untuk pulih sering tidak dihargai dengan hadiah penerimaan yang baik. Berapa banyak pecandu yang kembali ke sekolah dan lulus? Berapa banyak pecandu yang kembali bekerja dan membangun keluarga dengan sukses? Mungkin tidak banyak.
Penelitian Yayasan Cinta Anak Bangsa (2004) di Jakarta dalam melihat sikap masyarakat terhadap masalah narkoba menemukan beberapa fakta:
* 84,2 % partisipan bersikap negatif terhadap narkoba (benci, kesal, tidak suka, marah, dsb)
* 51 % partisipan bersikap negatif terhadap pecandu narkoba (benci, tidak suka, takut, dsb)
* 81,1 % partisipan bersikap negatif terhadap pengedar narkoba (benci, marah, kecewa, takut)
* Sekitar 15 % partisipan memilih untuk bersikap netral (diam saja, cuek, masa bodoh) terhadap penyalahgunaan narkoba
Untuk sebagian orang: sekali pecandu, tetap pecandu. Ada pula yang menganggap semuanya itu berawal pada kejatuhan moral. Salah mereka sendiri, mereka kecanduan. Benarkah demikian? Coba kita pikir lagi.
Menjadi makhluk bermoral atau tidak bermoral memang sebuah pilihan. Tapi pilihan yang dibuat seseorang tidak dapat terlepas dari kondisi dan situasi tempat ia berada dan dibesarkan.
Jangan-jangan ini salah orang tuanya yang tidak memberi ramburambu pergaulan? Atau salah gurunya yang dulu tidak pernah mengajar bahaya narkoba? Atau bisa juga, salah aparat yang membiarkan keberadaan bandar sehingga narkoba ada di mana-mana.

Bahkan mungkin ini salah konglomerat farmasi yang sengaja mencipta pasar? Tapi bagaimana ada pasar jika tidak ada permintaan? Nah, kembali pada sifat dasar manusia yang menginginkan repetisi periodik yang membawa buaian tertentu (human craving).
Namun, kebanyakan orang tidak mau peduli adanya kompleksitas berbagai faktor yang dapat membuat seseorang jatuh ke dalam lembah adiksi. Apalagi dengan adanya fakta bahwa pecandu sulit mengatasi craving dan sugesti pada saat fungsi otak dan fungsi psikologis mereka justru berkompromi karena narkoba.
Ditolak kerabat terdekat

Jangankan melibatkan orang luar — seperti mendapatkan pekerjaan — kerabat sendiri pun kerap tidak siap menangkap ‘si anak hilang’ ketika ia kembali ke rumah. Lingkungan keluarga ‘si anak hilang’ sering tidak tahu harus berbuat apa.
Beberapa kasus konseling yang diterima layanan helpline 0800 1 NO DRUG YCAB menemukan fakta yang sama sekali terbalik dari peribahasa ‘Kasih ayah sepanjang jalan, kasih ibu sepanjang masa’. Jangankan kasih ayah yang cepat luntur, kasih ibu pun secara tragis bisa berubah bila sudah menyangkut urusan narkoba.
Saya pernah heran menyaksikan bagaimana seorang ibu tega mengharapkan anaknya lekas mati karena tidak tahan akan perilaku adiksi anaknya.
Ada pula orang tua yang setelah memasukkan anak ke panti rehabilitasi, membayar tunai perawatan enam bulan, kemudian menghilangkan jejak. Di akhir perawatan, si anak tidak lagi tahu harus pulang ke mana karena orang tuanya sengaja hengkang tanpa berita, gone without a trace. Saat luntang-lantung, si anak pun kembali ke panti rehabilitasi, satu-satunya keluarga yang dimiliki.
Saya juga ingat wawancara terhadap anak Rony Pattinasarani dalam acara Kick Andy. Ia mencemenceritakan betapa sedih dan tertolaknya ia ketika pada setiap pertemuan atau acara keluarga, kerabatnya selalu memperlihatkan sikap tidak suka akan kehadiran mereka. Spontanitas dan kesigapan sengaja diperlihatkan dalam mengamankan barang berharga mereka karena curiga anak-anak Rony akan mengambil kesempatan dalam kesempitan dan mencuri barang-barang mereka.
Kondisi itu rasanya tidak banyak berubah walau anak-anak Rony bertobat dan telah membuktikan diri ‘bersih’ untuk beberapa waktu lamanya. Orang biasanya tetap tidak percaya. Walaupun perilaku kecanduannya hilang, jangan-jangan perilaku malingnya tetap ada! Kan, sekali pecandu tetap pecandu?
Menuju lembah kekelaman

Apa mau dikata, pengalaman negatif masyarakat menelurkan sikap mereka yang negatif pula; sikap negatif kemudian melahirkan label dan stigma.
Apalagi terhadap kelompok pecandu yang terinfeksi virus HIV/AIDS. Masalah dia dilabel ‘sekali pecandu tetap pecandu’ belum selesai, muncul stigma lain sebagai seorang HIV positif yang lebih kejam lagi.
Semua orang juga tahu multipredikat yang bertubi-tubi itu mengakibatkan kegagalan banyak pecandu positif HIV untuk kembali ke dalam masyarakat normal — nonpecandu. Banyak yang tahu, tidak banyak yang peduli.
Kalangan yang mengaku diri terpelajar atau perusahaan multinasional mungkin berpendapat lain. Banyak yang mengumbar dukungan gerakan penerimaan orang dengan HIV tapi kandas ketika berhadapan langsung dengan pilihan yang harus dibuat di tempat kerja. Memang, kebijakan tidak mencerminkan pilihan/keputusan yang diambil. Perkataan tidak identik dengan perbuatan. Jelas itu tidak masuk dalam pengandaian ‘Bak jatuh ditimpa tangga’. Kondisi seperti itu lebih tepat digambarkan dengan ‘Bak jatuh dilindas buldoser; buldoser ketakutan’ tertular, buldoser label, buldoser stigma, buldoser cemooh dan buldoser absen kepercayaan.
Kasihi manusianya

Kita benci dampak narkoba pada manusia, pada lingkungan, pada bangsa ini. Mengasihi si penyalah guna adalah tantangan terbesar. Mengasihi tetangga kita yang sehat saja sulit, apalagi ketika kita harus memfasilitasi integrasi sosial pecandu, terlebih pecandu yang positif HIV/AIDS.

Rasanya lelah untuk mengatakan bahwa informasi dan pendidikan perlu ditingkatkan dalam masyarakat. Karena pada kenyataannya, itu tidak cukup membawa perubahan. Itu tidak cukup mengubah iklim perseteruan terselubung antara masyarakat mainstream dan komunitas mantan pecandu.
Mengubah sikap masyarakat sama dengan mencoba mengubah budaya masyarakat. Ini adalah batu sandungan terbesar. Saya pun tidak yakin bangsa kita dapat berubah dalam waktu dekat ini. Tapi, jika tidak sekarang, kapan lagi investasi sosial ini dimulai?
Pemerintah atau dunia usaha perlu memiliki kebijakan kondusif tanpa diskriminasi. Walau telah ada Workplace Guidelines yang dicanangkan PBB satu dekade lalu, kondisi di tempat kerja di Indonesia belum kunjung berubah. Entah mau atau tidak, entah kapan berubah.
Mungkin sebuah program kredit mikro ala M Yunus dapat diterapkan. Dengan memberikan keterampilan kewiraswastaan dan sedikit modal kepada mantan pecandu untuk mulai berdagang bisa jadi membawa dampak baik. Walau perlu dipikirkan mekanisme kerja dan jenis usaha apa yang dapat secara sederhana mereka jalankan. Gagasan itu jika berhasil dapat membuat mantan pecandu lekas mandiri.
Ini mungkin salah satu cara kita mengasihi mereka. Siapkah Anda?

Bak barang mudah pecah yang dikirim dalam kotak integrasi sosial, intinya hanya satu: proses perubahan pecandu hanya dapat diakomodasi dengan satu cara praktis, yakni mengasihi mereka, disertai perbuatan nyata.