indosiar.com, Jakarta
Narkoba tidak hanya
menyeret kalangan selebiritis, namun juga aparat berwenang, baik
kepolisian, TNI maupun petugas LP. Selain sebagai pemakai, oknum yang
terlibat ini, ternyata banyak berperan sebagai pengedar atau yang
membekingi para bandar atau pengedar. Dalam lima tahun terakhir, di
Jakarta saja, ada ratusan aparat kepolisian yang terseret dalam kasus
narkoba. Ini menjadi pertanyaan besar, seberapa seriuskan, kita mau
memberantas narkoba di negeri ini ?.
Keterlibatan aparat dalam peredaran narkoba di tanah air terus saja
terjadi. Di Jakarta, seorang oknum anggota TNI dari kesatuan kesehatan
kostrad berinisal O, Kamis 17 Maret lalu, diringkus tim Badan Narkotika
Nasional, dalam sebuah razia yang digelar di Apartemen Kelapa Gading
Nias, Jakarta Utara. Dari tangan oknum yang ditangkap bersama janda muda
berinisial Y, petugas menemukan 20 ribu pil ekstasi dan lima ribu pil
happy five.
Beberapa hari sebelumnya, pada Selasa 8 Maret, Badan Narkotika
Nasional, juga meringkus kepala Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan,
Marwan Adli dan dua anak buahnya, bernama Iwan Syaefudin yang menjabat
sebagai kepala pengamanan LP dan Budhiyono, yang menjabat sebagai
kepala seksi bina pendidikan. Ketiganya kini telah menyandang status
tersangka dan menjalani penahanan di Jakarta.
Ketiganya diduga terlibat dalam peredaran narkoba yang
dijalankan seorang bandar penghuni lapas Nusakambangan, bernama Hartoni,
karena ditemukan aliran dana dari sang bandar, di rekening mereka.
Dan yang terbaru adalah penangkapan AKBP ES, oknum anggota
kepolisian, yang berdinas di Mabes Polri. ES ditangkap bersama dengan
Putri Ariyanti, putra Ari Sigit, cucu presiden RI kedua,
almarhum Muhammad Suharto. Keduanya ditangkap karena mengkonsumsi
sabu-sabu di sebuah hotel di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Jumat
dini hari lalu.
Menurut Kabag Penum Mabes Polri, Komisaris Besar Boy Rafli Amar, AKBP
ES saat ini masih menjalani pemeriksaan oleh penyidik Polda Metro
Jaya. Boy memastikan, ES diperlakukan sama dengan tersangka lain, bahkan
lebih berat, karena juga harus menjalani sidang etika profesi.
Hingga saat ini, penyidik Polda Metro Jaya masih terus mendalami
peran AKBP ES dalam jaringan peredaran narkoba ini. Namun menurut Kabid
Humas Polda Metro Jaya, Kombes Baharudin Jaffar, tersangka ES
dinyatakan hanya sebatas pengguna, dan kini harus menjalani penahanan
bersama kelima rekannya.
Dari data Polda Metro Jaya, sejak tahun 2005 hingga 2010, di wilayah
DKI Jakarta saja terdapat 105 oknum aparat keamanan yang terlibat
peredaran narkoba. 75 orang adalah anggota Polri dan 35 anggota TNI.
Sedangkan tersangka yang diringkus dalam 5 tahun terakhir sebanyak 46
ribu orang, dimana 53 persennya adalah para remaja dan mereka yang
berusia produktif.
Sementara data Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara, mencatat
sebanyak 334 oknum aparatur pemerintah daerah terlibat dalam peredaran
dan penyalahgunaan narkoba, dari awal 2004 hingga akhir 2010. Mereka
terdiri dari anggota Polri, TNI dan PNS. Sedangkan akibat penggunaan
narkoba, tercatat 41 orang meninggal dunia setiap harinya.
Seberapa seriuskah keterlibatan aparat dalam bisnis haram ini.
Menurut Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, ada dua
kelompok besar oknum aparat yang terlibat narkoba. Pertama, mereka yang
terlibat langsung dalam pengawasan peredaran narkoba, dan kelompok
kedua mereka yang memiliki kecenderungan hidup bermewah-mewah.
Pandangan senada juga diungkapkan Ketua Gerakan Nasional Anti
Narkotika, Hendry Yosodiningrat. Menurut Hendry, undang-undang narkoba
sudah sangat jelas, namun karena banyak oknum aparat yang memiliki
moralitas tidak baik, mereka nekad melanggar aturan.
Sementara menurut Kordinator Indonesia Police Watch, Neta S Pane,
keterlibatan oknum aparat kepolisian dalam bisnis narkoba, karena
lemahnya pengawasan terhadap mereka, serta ringannya hukuman bagi
pengguna narkoba.
Apa yang diungkapan oleh para pakar dan pemerhati narkotika ini tentu
saja tidak boleh diabaikan, mengingat banyak faktor yang memicu
keterlibatan aparat dalam bisnis haram ini. Yang pasti, keterlibatan
aparat dengan alasan apapun tidak bisa dibenarkan. (Tim Liputan/Sup)