Beberapa faktor yang seperti faktor biologis, faktor psikososial dan faktor genetik diduga menjadi penyebab depresi. Faktor genetik semakin meningkatkan kerentanan seseorang terhadap depresi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa adanya faktor genetik yang disertai riwayat stresor mengakibatkan hiperaktivitas dan sensitivitas yang menetap pada sistem saraf.
Pada depresi terjadi peningkatan hormon kortisol di dalam cairan cerebrospinalis dan darah. Tingginya kadar kortisol berhubungan dengan berat ringannya depresi. Peningkatan hormon kortisol timbul akibat adanya stresor berlebihan yang dapat mengativasi aksis HPA (Hypothalamo Pituitary Adrenal). Adanya stresor yang berlebihan dan dikaitkan dengan beberapa faktor yang dapat menyebabkan depresi pada seseorang akan menimbulkan hiperaktivitas HPA aksis. Hiperaktivitas HPA aksis akan merangsang sekresi Corticotropin Releasing Hormon (CRH) sehingga CRH juga sangat tinggi pada pasien yang berhadapan dengan stresor. CRH yang tinggi berpengaruh pada hipotalamus dan hipokampus. Pada keadaan normal sekresi CRH akan merangsang hipofisis untuk membentuk Adenocorticotropin Hormon (ACTH). ACTH merangsang kelenjar adrenal untuk membentuk kortisol dan kortisol akan memberikan umpan balik ke hipotalamus dan hipofisis untuk mengurangi sekresi CRH dan ACTH. Namun pada depresi mekanisme umpan balik ini terganggu. Gangguan umpan balik ini menyebabkan ketidakmampuan kortisol untuk menekan sekresi CRH. Disinhibisi sekresi CRH menyebabkan tingginya kadar CRH dalam cairan cerebrospinalis sehingga semakin mempermudah seseorang untuk menderita depresi apabila berhadapan dengan stresor. Apabila peningkatan kadar kortisol berlangsung lama, kerusakan hipokampus dapat terjadi. kerusakan hipokampus inilah yang merusak mekanisme umpan balik kortisol terhadap CRH. Semakin tinggi CRH semakin banyak kortisol. Semakin tinggi kadar kortisol semakin memperberat depresi. Hiperkortisolemia akan mendestruksi hipokampus. Kerusakan hipokampus menyebabkan disinhibisi aksis HPA dan seterusnya.
Penegakan diagnosis berdasarkan PPDGJ III meliputi gejala utama dan gejala tambahan. Gejala utama meliputi : Suasana perasaan yang depresi/sedih atau murung, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Gejala tambahan terdiri dari konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan berkurang, gagasan tentang perasaan bersalah dan tak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistik, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri sendiri atau bunuh diri, gangguan tidur, nafsu makan berkurang. (PPDGJ III, Cermin).
Secara garis besar penatalaksanaan depresi terdiri dari: psikoterapi, obat-obatan, Electroconvulsive Therapy (ECT), akupunktur. Sampai saat ini masih terdapat angka kegagalan dan kekambuhan dalam pengobatan depresi yang cukup besar melalui pengobatan dengan obat-obatan dan fitofarmaka. Hal ini antara lain disebabkan pasien tidak tahan dengan efek samping obat-obat anti depresi. Untuk itu perlu adanya terapi tambahan untuk menambah tingkat kesembuhan depresi dan mengurangi angka kekambuhan. Penelitian Luo dkk menyatakan efektifitas elektroakupunktur sama dengan pengobatan konvensional Amitriptilin.
Secara medik telah diketahui bahwa penusukan pada titik-titik akupunktur akan memicu pengeluaran neurotransmitter dan neurohumoral. Terbukti bahwa penusukan pada titik akupunktur merangsang pengeluaran serotonin dan norepineprin. Mekanisme kerja akupunktur pada depresi berkaitan dengan efek sentral. Penusukan pada titik-titik akupunktur terutama di daerah kepala akan segera meningkatan kadar serotonin dan norepineprin terutama di sistem saraf pusat. Rangsangan penusukan akupunktur akan mengaktifasi hipothalamus pituitari sehingga melepaskan serotonin dan beta endorphin ke dalam darah dan cairan cerebrospinal. Beberapa penelitian eksperimental menunjukkan penusukan akupunktur pada titik Bahui (GV-20) berefek meningkatkan metabolisme glukosa di otak terutama di lobus frontallis, lobus parietalis, lobus oksipitalis, nukleus kaudatus,nukleus formis dan cerebelum. Glukosa dibutuhkan sebagai sumber energi dalam metabolisme otak dan pemeliharaan sel-sel saraf. Lobus frontalis berperan dalam memori, emosi dan kepribadian. Faktor emosi dan kepribadian barkaitan erat dengan depresi.