Demikian disampaikan Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer dari Direktorat Jenderal Bina Gizi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dr. Abidinsyah Siregar, DHSM.
"Prinsip dalam pengobatan itu tidak ada satu tindakan pengobatan apapun yang dapat menjamin atau memberi garansi kesembuhan. Ini berlaku secara universal, baik pengobatan secara medis atau tradisional," ujar Abidin yang dihubungi di Jakarta, Senin (13/8/2012).
Kesembuhan pasien dapat diperoleh jika tenaga pelayan kesehatan memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Standar pelayanan dimulai dengan cara pelayanan yang benar, diagnosa tepat, pengawasan saat proses penyembuhan pasien, serta komunikasi seimbang dan terbuka antara pasien dan pelaku pelayanan kesehatan.
Mengapa demikian? Menurut Abidinsyah, setiap manusia memiliki kondisi kesehatan berbeda-beda. Meskipun menderita jenis penyakit serupa dan obatnya sama, belum tentu hasilnya akan sama. Jaminan kesembuhan seorang pasien bisa diperoleh dari proses pengobatannya.
Penjelasan Abidinsyah ini sekaligus hendak menjawab polemik boleh tidaknya mengandalkan pengobatan non medis. Menurutnya, keberadaan klinik pengobatan non medis baik itu Traditional Chinese Medicine (TCM), pengobatan tradisional Indonesia, maupun pengobatan berdasarkan empirik tidak masalah.
Pengobatan non medis ini membantu masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan dengan derajat setinggi-tigginya. Jenis pelayanan ini, kata Abidin, masuk dalam 17 jenis pelayanan kesehatan seperti tersurat dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 48.
"Esensi masalahnya itu cara klinik TCM ini mengiklankan produknya tidak sesuai dengan ketentuan Kemenkes yakni Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1787 tahun 2010 tentang pemberian testimoni," katanya mengomentari keresahan sebagian kalangan atas maraknya iklan kesaksian pasien yang ditayangkan di sejumlah televisi swasta nasional maupun daerah.
Yang Salah Iklannya, Bukan Pengobatan TCM-nya
Ia mengatakan, aturan Permenkes ini memberikan pedoman tentang iklan layanan kesehatan apapun, bukan sekedar klinik pengobatan TCM atau klinik tradisional saja. Dalam ketentuan ini, Kemenkes dengan tegas mengatur matari apa saja yang boleh diiklankan maupun sebaliknya. Setidaknya ada 15 hal yang tidak diperbolehkan saat beriklan di media. Beberapa di antaranya adalah klaim yang menyatakan pelayanannya lebih baik dari yang lain, melakukan perbandingan antara pelayanannya dengan tempat lain, memberikan testimoni, serta mencantumkan harga atau diskon dalam iklan atau publikasi.
"Klinik pengobatan itu mau TCM, tradisional atau empirik tidak masalah, selama mereka memiliki surat ijin dari dinas Kesehatan Kabupaten Kota. Ini sepenuhnya kewenangan dan tanggung jawab daerah sesuai Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004," katanya.
Melihat keresahan masyarakat akibat iklan yang melanggar, Abidinsyah mengatakan Kemenkes tidak berwenang melakukan teguran atau penghentian iklan. Menurutnya, pengawasan iklan tergantung dari dimana iklan tersebut ditayangkan. Jika iklan testimoni ditayangkan di media cetak seperti koran atau majalah, pengawasan dilakukan oleh Dewan Pers. Apabila iklan testimoni tayang di televisi, maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga yang berhak melakukan pengawasan.
"Sekarang saja lagi ramai, padahal kami sudah melayangkan keluhan ke KPI sejak akhir tahun 2011. Tapi, saat itu belum ada tindakan sehingga pembiaran ini berkembang," ujarnya.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prijo Sidipratomo mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan juga KPI harus pro aktif melindungi masyarakat dari paparan iklan-iklan testimoni di media massa. KPI diminta untuk memeriksa para pemberi testimoni di iklan pengobatan TCM. Tujuannya untuk membuktikan apakah kesaksian tersebut benar adanya ataukah demi kepentingan iklan. Sementara, Kemenkes diminta lebih pro aktif berperan ikut mengawasi publikasi layanan pengobatan di media massa.