SURYA Online – Dua orang yang sama-sama
ditangkap karena narkotika belum tentu sama hukumannya. Tergantung yang
bersangkutan bisa mengikuti permainan atau tidak.
Narkoba menduduki peringkat pertama dari total perkara yang masuk ke
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, mengalahkan pencurian maupun
perjudian. Dalam sebulan tidak kurang dari 90 perkara masuk dengan
jumlah terdakwa sekitar 110 orang. Seperti bulan Agustus 2011 lalu, ada
96 perkara dan 111 terdakwa narkoba yang masuk. Dan Juni ada 98
perkara dengan 107 terdakwa.
Dari ratusan ini, lebih dari separonya perkara receh dengan barang
buktinya beberapa butir ekstasi atau nol koma sekian gram sabu-sabu.
Tapi, meski sama-sama kecil, bukan berarti persidangannya seragam.
Perkara kecil yang terdakwanya berduit, lebih berbelit-belit. Beda
dengan terdakwa tak berduit yang sekadar lewat, sidang dua kali langsung
putusan. Tentu hukumannya pun bagai bumi dan langit. Untuk membuktikan
ini, Surya mengikuti beberapa sidang dengan terdakwa berbeda.
Yang pertama sidang terdakwa Fanny Yongvi Sanjaya, mahasiswi
perhotelan salah satu universitas ternama di kawasan Surabaya Barat pada
22 September 2011 lalu.
Sidang digelar lebih dari lima kali, mulai dari dakwaan, saksi jaksa,
saksi terdakwa, tuntutan, pledoi, hingga putusan yang digelar dalam
waktu yang berbeda. Hasilnya, mahasiswi berkulit putih hanya dihukum
satu tahun penjara
Majelis hakim menjeratnya dengan Pasal 127 Ayat (1) UU No 35 tahun
2009 tentang Narkotika. Hukumannya pun tidak dijalani di penjara tapi
pusat rehabilitasi RSU Dr Soetomo Surabaya.
Hakim mendasarkan putusannya pada kesaksian dokter, bahwa gadis ini
harus direhabilitasi karena hanya pemakai dan sudah mengalami
ketergantungan.
Hari berikutnya Surya mengikuti persidangan kasus narkotika dengan
terdakwa Fadhi (31), warga Jl Endrosono dan Zainal Abidin (26) warga Jl
Kalimas Madya, Surabaya.
Sebelum divonis penjaga toko dan counter ponsel itu mengiba meminta
rehabilitasi dengan membawa surat dokter. Namun, majelis hakim tegas
menolaknya.
Hakim menjeratnya dengan Pasal 112 UU 35/2009. Meski barang bukti
yang dibawa hanya 0,05 gram sabu-sabu, keduanya dihukum empat tahun
penjara serta denda Rp 800 juta subsider satu bulan kurungan. Hakim
tidak menggunakan pasal 127 UU 35/2009 yang memungkinkannya
direhabilitasi karena tidak ada keterangan dokter bahwa terdakwa sedang
dalam perawatan.
Sulitnya mendapatkan rehabilitasi juga dirasakan Sri Mariyati dan Ni
Made Sukariani, dua waiters D’Master Pool & Karaoke. Meski keduanya
mengajukan saksi dokter yang sama dengan Fanny di persidangan dengan
majelis yang sama pula, permintaan rehabilitasinya tetap ditolak.
Tapi, kedua pramuria itu masih bisa tersenyum karena hanya dihukum
satu tahun penjara. Padahal, tuntutan jaksa empat tahun karena dianggap
terbukti menyimpan dan memiliki narkotika golongan I, melanggar pasal
112 UU 35/2009.
Kasus sama tapi vonis berbeda ini sudah menjadi rahasia umum di
pengadilan. Hal ini diakui pengacara senior Sunarno Edi Wibowo. Bowo
—panggilan Sunarno Edi Wibowo— mempertanyakan alasan hakim
merehabilitasi terdakwa hanya berdasarkan keterangan dokter yang
notabene baru menangani setelah ditangkap.
Menurut Bowo, sesuai ketentuan, keterangan rehabilitasi itu harus
didasarkan pada diagnosis disertai bukti medical record yang menjelaskan
terdakwa pernah direhabilitasi sebelum ditangkap.
“Jangan sampai hakim memutus hanya dengan keyakinan dan kewenangan tanpa pertimbangan yang adil dan benar,” katanya.
Menurut Bowo, kesaksian dokter setelah penangkapan hanya rekayasa
semata. Hal ini pernah dilakukannya saat mendampingi artis Roy Marten
yang ditangkap saat pesta sabu-sabu di Hotel Novotel Surabaya 2007
silam.
Saat itu dia merekayasa dengan mendatangkan salah satu dokter untuk
bersaksi di persidangan. Dokter ini menjelaskan, Roy mengalami
ketergantungan, sehingga harus segera direhabilitasi. Namun, keterangan
dokter ini tidak membuahkan hasil. Permintaan rehabilitasi Roy Marten
ditolak dan dihukum tiga tahun penjara.
“Saya menyadari saat itu karena memang tidak ada medical record-nya,” akunya.
Keberadaan dokter di persidangan ternyata tidak gratis. Bowo mengaku
saat itu harus mengeluarkan Rp 5 juta untuk membujuk sang dokter
bersaksi di sidang. “Itu dulu, kalau sekarang mungkin sudah
berlipat-lipat harganya,” katanya.
Kolega Bowo sesama pengacara mengamini hal itu. Pengacara berdarah
Madura itu mengaku untuk mendatangkan dokter pada sidang mengeluarkan
uang Rp 10 juta hingga Rp 15 juta, tergantung kemampuan finansial
terdakwa. “Biasanya kalau terdakwanya tidak punya, kami hanya memintakan
keterangan dokter saja, tanpa membawanya ke sidang. Biasanya dokternya
mau tanpa harus dibayar,” katanya.
Bagaimana dengan kesaksiannya? Dokter yang bersidang umumnya
menjelaskan keadaan terdakwa yang sudah dalam kadar kecanduan, sehingga
harus direhabilitasi. Hal itu dilakukan berulang-ulang pada terdakwa
berbeda.
Pengacara itu mengaku, meski kesaksian dokter dilakukan
pascaditangkap, namun hal itu harus dijadikan alasan hakim untuk
merehabilitasi. “Keterangan rehabilitasi tidak selalu sebelum ditangkap,
sebelum ditangkap juga bisa direhab karena itu hak pemakai narkoba
karena mereka adalah korban,” alasannya. [Tab]
Sumber :
Surya.co.id