Kandungan
Indikasi
Kontra Indikasi
Efek Samping
Perhatian
Dosis
Subutex sangat mengikat kuat ke reseptor, membuat dampak methadone dan heroin akan menjadi kecil atau tidak berdampak sama sekali. Obat ini umumnya digunakan untuk program perawatan narkotik dan di resepkan dengan dosis berbeda. Dampak dari subutex tak sebanyak dari opiate yang lain, memberikan perasaan “normal” kepada seseorang.
Sekarang, “crack” (cocaine) dijual dengan harga yang sangat murah, sehingga muda-mudi dapat membelinya. Tapi ini jadi nkesalahan, ketika seseorang kecanduan cocaine, ada pertambahan “perilaku” dan juga dengan pengeluaran biaya. Efek samping
Subutex (buprenorphine) dapat menyebabkan ketergantungan. Jika penggunaan subutex tiba-tiba dihentikan, seseorang dapat mengalami gejala putus zat dan/atau adanya keinginan kambuh lagi dan menggunakan obat-obatan adiktif kembali. Subutex diatur dengan dosis harian 12mg sampai 16mg per hari.
Penggunaan Subutex tidak untuk sesekali. Ini digunakan untuk metode perawatan berkelanjutan dan akan berbahaya jika pemakaian diberhentikan terlalu cepat.
Jika digunakan dengan obat-obatan yang lain (anti dpresan, alcohol, obat dokter, dll), dampaknya akan menjadi tinggi dan menyebabkan resiko pada kesehatan secara serius. Subutex akan menyebabkan over dosis dan kematian, jika disuntikkan. Jangan menggunakan obat-obatan yang lain tanpa persetujuan petugas kesehatan saat menggunakan subutex.
- Rasa kantuk
- Pusing
- Kelelahan
- Susah buang air
- Sakit kepala
- Mual/Muntah
- Pernafasan yang tersendat
- Perubahan mental
- Perubahan Mood (depresi)
- Gangguan perut
- Gangguan hati
- Urine berwarna lebih kuning
- Mata menjadi kuning
- Masalah kulit
- Masalah penglihatan
- Kematian yang terjadi dari over dosis Ketergantungan Subutex
Kalsifikasi subutex sangat sedikit dari jenis opiate lain. Dan juga sangat mahal, dan menjadi mudah untuk didapat di black market. Faktor ini memberikan kontribusi dan memperkuat angka kecanduan terhadap subutex.
Dunia internasional sudah mulai merasakan akibat dari subutex, yang berkaitan didalam International Herald Tribune :
“Pengkonsumsian buprenorphine meningkat tiga kali lipat dari tahun 2000 ke 2004, sesuai Badan Kontrol Narkotik Internasional-UN, peningkatan 1.7 milliar DDD (defined daily dose), penegasan dosis harian dari data statistic pengkonsumsian obat WHO.
“Di beberapa Negara seperti Finlandia, pelaporan 2005 badan Finlandia mengatakan “penggunaan gelap buprenorphine sebagai pengganti opiate menjadi hal terpenting, sebagian pasar gelap, hampir menggantikan heroin.”
Faktanya buprenorphine harganya lebih murah dari heroin dan dapat diakses mudah di pengembangan pasar illegal yang ada di beberapa Negara. Contohnya, pembuatan buprenorphine di India, diselundupkan ke Nepal dan Sri Lanka juga Bangladesh, 90 persen dari Negara itu penggunaannya disuntikkan sesuai laporan tahun lalu dari UN Drug and Crime.
SETELAH marak terjadinya penyalahgunaan subutex, pemerintah Singapura akhirnya menetapkan zat tersebut sebagai Class-A Controlled Drug atau obat yang diawasi penggunaannya dalam Misuse of Drugs Act terhitung 14 Agustus 2006. Dengan kebijakan baru ini, subutex dikategorikan sama dengan ekstasi, ketamine dan heroin, dan menjadi obat yang ilegal untuk diimpor, didistribusikan, dimiliki atau dikonsumsi. Para pemakai subutex diberi kesempatan hingga 27 Agustus 2006 untuk mendaftarkan diri dalam Subutex Voluntary Rehabilitation Program
Lewat dari tanggal tersebut, mereka yang tertangkap 2 kali pertama mengkonsumsi subutex secara ilegal diwajibkan menjalani rehabilitasi, dan bila tertangkap berikutnya dapat dikenakan hukuman penjara dan pukulan rotan. Bagi mereka yang terbukti menjual, mengimpor atau mengedarkan subutex diancam maksimal hukuman penjara 20 tahun dan 15 pukulan rotan.
Dua hari sejak subutex ditetapkan sebagai obat yang diawasi penggunaannya, tercatat 269 pemakai subutex telah mendaftarkan diri. Pemakai subutex yang telah mendaftarkan diri diijinkan untuk mengkonsumsi subutex sekali per hari di bawah pengawasan dokter/klinik hingga gilirannya menjalani program rehabilitasi. Program rehabilitasi mencakup pengurangan dosis subutex untuk 5-7 hari dan konseling untuk mengatasi kecanduan.
Pada 12 Agustus 2006,49 dokter yang terdaftar memberikan subutex kepada pasiennya telah mengikuti briefing Kementerian Kesehatan yang antara lain perihal himbauan kepada pasiennya untuk mendaftarkan diri dan kesediaan para dokter membantu program rehabilitasi. Dokter yang menolak bergabung dalam program rehabilitasi, maka pasiennya akan dialihkan kepada Institute of Mental Health (IMH).
Untuk Terapi Substitusi Heroin Subutex sebelumnya adalah non-controlled drug yang mulai digunakan di Singapura untuk membantu mengobati kecanduan mantan pecandu heroin sejak tahun 2002. Menurut IMH, di Singapura kini terdapat 3.800 pecandu subutex. Sebagai obat untuk mengatasi gejala kecanduan yang diderita mantan pecandu heroin, subutex seharusnya dikonsumsi sekali sehari dengan cara melarutkannya di bawah lidah. Namun subutex telah disalahgunakan dengan mencampurkannya dengan obat penenang Domicum dan menyuntikkannya untuk mencapai "high".
Sebagai obat untuk mengatasi gejala kecanduan heroin, 40 negara mengijinkan penggunaan subutex, namun hal ini telah menciptakan masalah kecanduan subutex di beberapa negara. Menurut International Narcotics Board PBB, 1,7 milyar dosis subutex dikonsumsi tiap harinya pada tahun 2004. Ditemukan bahwa di beberapa negara, penyalahgunaan subutex telah menjadikan subutex sebagai obat yang paling dikonsumsikan oleh pecandu berbahan dasar opium seperti heroin. Sebagai obat legal, dengan harga yang relarif lebih murah dari heroin dan mudah diperoleh, subutex telah menjadi obat pengganti favorit bagi pecandu heroin. Di India yang memproduksi buprenorphine (campuran aktif dalam subutex) 90% pengguna subutex memakainya dengan cara penyuntikan.
Menurut Menteri Kesehatan Singapura Khaw Boon Wan, munculnya budaya jarum suntik mengkhawatirkan karena penggunaan subutex yang dicampurkan dengan obat lain dengan cara menyuntikkannya dapat mengakibatkan kerusakan nadi, kegagalan pernapasan, dan gangrene (pembusukan karena infeksi pada pembuluh darah) yang dapat menyebabkan amputasi. Dormicum yang tidak larut dalam air atau darah dapat menyumbat aliran darah dan menyebabkan penggumpalan darah yang akhirnya berujung pada gangrene. Penggunaan jarum suntik secara bersama juga dapat menyebabkan penyebaran HIV, serta Hepatitis B dan C. Sebelumnya, sekitar 5% pecandu heroin menggunakan jarum suntik, namun kini jarum suntik digunakan oleh 90-95% pecandu subutex. Menurut Central Narcotics Bureau (CNB) atau BNN-nya Singapura, setengah dari 1.244 pecandu subutex yang diwawancarai CNB pada periode Mei 2005 - Juli 2006 mengaku menggunakan jarum suntik. Jarum suntik harganya murah antara 60 sen - 1 Dollar Singapura, dan mudah didapat di toko obat Cina atau apotik yang umumnya memiliki persediaan terutama untuk penderita diabetes. Menurut laporan Health Science Authority, pada September 2003 - Agustus 2005 terdapat 22 kematian yang disebabkan oleh kombinasi subutex dan obat lainnya. Jual Subutex Untung S$ 1 Juta Pada November 2005, Kementerian Kesehatan mewajibkan pendaftaran online bagi klinik-klinik yang memberikan subutex untuk memberikan nama pasiennya dan jumlah pil subutex yang diberikan kepada mereka. Kebijakan ini dirancang untuk menghentikan penyalahgunaan subutex baik oleh pasien pecandu heroin maupun oleh dokter untuk mencari keuntungan. Sejak November 2005 tersebut, tercatat 31 klinik umum yang diijinkan oleh pemerintah untuk memberikan subutex kepada pasiennya dan klinik-klinik tersebut telah menjual lebih dari 580.000 pil subutex. Sementara 5 rumah sakit umum dan 2 klinik spesialis hanya menjual sekitar 20.000 pil subutex. Menurut CNB, klinik-klinik tersebut mendapat S$ 15 bagi tiap 8 mg pil subutex yang merupakan dosis umum. Hal ini berarti bahwa kurang dari 10 bulan, klinik-klinik tersebut telah meraih keuntungan sekitar S$ 8,7 juta, bahkan salah satu klinik berhasil menjual 69.000 pil subutex (10% dari pasar) yang diperkirakan meraih keuntungan S$ 1 juta.
Umumnya dijual kembali dengan harga per pil S$ 20. Dokter umumnya menjual pil subutex dengan harga S$ 20-22, sementara di pasaran gelap dapat mencapai harga S$ 40-100 per pil.
Sejak subutex dinyatakan sebagai Controlled Drug, 8 mg pil subutex yang biasanya dijual dengan harga S$ 40 naik menjadi S$ 80, dan ini mengindikasikan bahwa permintaan terhadap subutex masih tinggi. Menurut IMH dan National University hospital, 40% pecandu memperoleh subutex dari pasar gelap sebagian dikarenakan dokter tidak cukup memahami perawatan terhadap pasien ketergantungan obat terlarang. Subutex yang beredar di Singapura umumnya diselundupkan dari Johor Baru, Batam, dan Hongkong. Sedangkan menurut laporan PBB, subutex juga diselundupkan dari India ke Nepal, Srilanka, dan Bangladesh.
Sementara ini, klinik-klinik tersebut tetap diijinkan untuk memberikan subutex kepada pemakai yang terdaftar, namun pemakai tersebut harus mengkonsumsinya di dalam klinik untuk mencegah subutex dikonsumsikan dengan cara disuntikkan atau dijual kepada orang lain. Menurut Menteri Kesehatan Khaw Boon Wang, Singapura telah melakukan kesalahan dengan mengijinkan penggunaan subutex dan membiarkan dokter memberikan subutex kepada pasiennya secara bebas. Lebih dari 5 dokter tengah diperiksa oleh Singapore Medical Council karena dinilai telah menyalahgunakan ijin pemberian subutex kepada pasiennya. Dua hari setelah subutex ditetapkan sebagai obat yang diawasi penggunaannya, CNB telah berhasil meringkus 11 orang diduga sebagai pengedar subutex dan 1 orang pengguna subutex. Delapan pengedar di antaranya telah diajukan ke pengadilan dan bila terbukti, dapat dikenakan sekurangnya 5 tahun hukuman penjara dan 5 pukulan rotan.
Pandangan Para Ahli
Para ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda perihal subutex, beberapa di antaranya mengatakan bahwa subutex kurang berbahaya dibandingkan opiates, kuat seperti heroin karena tidak mematikan rasa sakit dan efek terhadap pernapasan lebih rendah. Penggunaan subutex secara tepat, yaitu dilarutkan di bawah lidah dapat membantu pengguna berfungsi relatif normal. Namun bila pengguna memilih cara menyedot atau menyuntikkannya, maka subutex dapat mengakibatkan gangrene yang dapat mengarah ke amputasi dan bahkan kematian.
Di Amerika Subutex diijinkan digunakan pada tahun 2002. Untuk mencegah penyalahgunaan subutex, US Food and Drug Administration (USFDA) membatasi jumlah pasien pecandu narkoba yang dapat dirawat dengan subutex, yaitu 30 pecandu untuk tiap dokter dan klinik. USFDA juga meminta pihak manufaktur membuat obat lain, yaitu suboxone yang mencampurkan buprenorphine dengan naloxone untuk mencegah penyalahgunaan karena dapat menyebabkan withdrawal symptoms atau sindrom penolakan seperti muntah-muntah dan diare saat disuntikkan. Di Amerika, subutex hanya digunakan untuk periode terbatas dan kemudian digantikan dengan suboxone untuk keperluan jangka panjang. Namun sayangnya suboxone tidak tersedia di Singapura.
Menurut laporan Departemen Kehakiman Amerika, penyalahgunaan subutex tidak menjadi masalah serius di AS, namun di beberapa negara terdapat jumlah penyalahgunaan subutex yang cukup signifikan seperti di Prancis, Irlandia, Skotlandia, India, dan Selandia Baru. Di Georgia, Eropa Timur, subutex adalah obat ilegal dan dalam suatu artikel jurnal medis "the Lancet" dikatakan bahwa subutex merupakan penyebab utama kenaikan 80% jumlah pemakai narkoba di Georgia sejak tahun 2003. Di Georgia yang berpenduduk 5 juta, kini terdapat lebih dari 250.000 pecandu narkoba
Di Indonesia tidak tertutup kemungkinan kecenderungan serupa terjadi pula atau mungkin malah telah terjadi. Indikasi Batam sebagai salah satu tempat asal subutex yang beredar di Singapura kiranya perlu mendapat perhatian serius, demikian pula jalur lalu lintas perdagangan gelap subutex di kawasan Asia mengingat negara asal, transit, dan tujuan berperan penting dalam memutuskan tali supply dan demand yang berdampak langsung terhadap keberhasilan penanganan perdagangan narkoba.